Sabtu, 15 Juni 2013

PERBEDAAN MENENTUKAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN



(Itsbat) Ada tiga alternatif metode untuk menetapkan awal suatu bulan qamariyah, yaitu hisab, ru’yah, dan istikmal.
Hisab adalah menghitung berdasarkan teori dan rumus-rumus tertentu yang sudah dibakukan sedemikian rupa sehingga diyakini bahwa awal bulan atas dasar penghitungan teoritik itu sama dengan kenyataan alam. Ru’yah maksudnya melihat hilal (bulan tanggal pertama). Artinya penetapan awal bulan didasarkan pada ada atau tidaknya hilal yang bisa dilihat mata (baik langsung maupun dengan alat bantu). Sedangkan istikmal adalah menggenapkan jumlah hari suatu bulan sampai tiga puluh hari sebelum memulai bulan baru.
Perbedaan (khilaf) tentang awal Ramadhan dan Syawal berpangkal pada ketidaksamaan hasil yang diperoleh melalui metode-metode tersebut khususnya ru’yah dan hisab.
Bagaimana kedudukan metode-metode tersebut dalam penetapan hari yang sangat penting ini?
Kebanyakan ulama salaf (jumhur as-salaf) berpendapat bahwa penetapan (itsbat) awal Ramadhan dan Syawal hanya boleh dengan cara ru’yah. Jika ru’yah tidak bisa dilaksanakan, karena terhalang mendung misalnya, maka digunakanlah istikmal (Bughyah Al-Mustarsyidin: 108). Jadi, dalam konteks ini istikmal bukanlah metode tersendiri tetapi metode lanjutan ketika ru’yah tidak efektif.
Metode dan prosedur ini mengikuti langsung hadis shahih riwayat Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
 

Artinya:   “Berpuasalah karena melihat hilal, dan berbukalah (tidak berpuasa lagi) karena melihatnya. Apabila kalian tidak melihatnya karena mendung, sempurnakan hitungan bulan Sya’ban sampai tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pendapat yang hanya mengakui ru’yah (dan kemudian istikmal jika diperlukan) sebagai metode penetapan puasa dan Idul Fitri diikuti oleh seluruh Imam Madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali).
Jadi bagaimanakah kedudukan hisab?
Hisab adalah metode pendamping, sekedar untuk memperkirakan (secara teoritik) apakah ru’yah dapat dilakukan atau tidak. Adapun hasil akhirnya tetap berdasarkan pada hasil ru’yah langsung.
Ketentuan ini tidak perlu merepotkan Anda sebagai awam. Nabi menyatakan dengan terus terang bahwa bulan Ramadhan ada kalanya 29 hari dan adakalanya 30 hari, tetapi untuk menetapkan 29 dan 30 itu hanya dipakai ru’yah, bukan hisab.
صوموا2222.JPGTelah bersabda Nabi Muhamad Saw.


Artinya:   “Puasalah sesudah melihat bulan dan ber-Hari Raya-lah sesudah melihat bulan; Kalau bulan didindingi oleh awan maka sempurnakanlah (bulan yang terdahulu) 30 hari.” (HR. Tirmidzi – Sahih Tirmidzi III hal. 204).
Pada hadits ini lebih dijelaskan dari hadits yang pertama tentang arti “gumma” (tertutup oleh awan) dengan “kalau membatas awan antara mata dan bulan, maka sempurnakanlah bilangan bulan yang terdahulu 30 hari, walaupun ahli hisab mengatakan bahwa bulan yang lalu itu hanya 29 hari”.
Hadis ini membatalkan pekerjaan ahli-ahli hisab, karena bagi ahli-ahli hisab hitungan bulan tak bisa didinding oleh awan, karena hitungan terletak di atas kertas yang digores-gores dengan pincil.
 

Artinya:   “Dari Sahabat Nabi Ibnu Umar Rda. beliau berkata: Bahwasanya Nabi Muhammad Saw, dalam suatu waktu teringat akan bulan Ramadhan maka beliau mengumpamakan bulan Ramadhan itu dengan tangan beliau lalu beliau berkata: Bulan itu begini dan begini (tiga kali sepuluh), tetapi yang ketiga kalinya beliau lipatkan ibu jari beliau dan berkata lagi: Berpuasalah kamu setelah melihat bulan dan berhari rayalah setelah melihat bulan; Kalau bulan ditutup maka lengkapkanlah 30 hari.”
(HR. Imam Muslim – Sahih Muslim I hal. 436).
Nyata dan terang dalam hadits ini bagi orang-orang yang benar-benar akan mengikut Allah dan Rasul bahwasanya masuk puasa hanya berdasar ru’yah, yaitu melihat bulan. Andaikata bulan (hilal) tidak kelihatan karena ditutup awan maka hitunglah 30 hari (bulan Sya’ban atau bulan Ramadhan).
عن ابى هريرة.JPGBerkata Nabi Muhammad Saw.:


Artinya:   “Dari Sahabat Nabi Abu Hurairah Rda. beliau berkata: Telah bersabda Rasulullah Saw.: Puasalah kamu setelah melihat bulan dan berbukalah (berhari raya) setelah melihat bulan. Kalau bulan ditutup maka cukupkan bilangan bulan Sya’ban 30 hari.” (HR. Imam Bukhari – Shahih Bukhari I hal. 231).
Arti “liru’yatihi” ialah “ba’dar ru’yatihi.”
Terang, nyata, tidak dapat diputar putar, bahwa ummat Islam diperintahkan oleh Nabi masuk dan keluar puasa dengan dasar ru’yah, bukan berdasar hisab ahli falak. Kalau bulan (hilal) tak kelihatan malam 30, maka dihitung 30 hari bulan yang lalu. Awal Ramadhan jatuh besoknya yaitu hari yang ke-31.
11--ankuraibin.jpg11--ankuraibin.jpg11--ankuraibin.jpg11--ankuraibin.jpgTersebut dalam kitab hadits begini:
 
 

Artinya: “Dari Kurqib beliau berkata: Bahwasanya Ummul-fadhli (seorang wanita) mengutusnya ke Syam menemui Khalifah Mua’wiyyah untuk sesuatu keperluan. Setelah selesai urusan saya kebetulan datang bulan Ramadhan, maka saya melihat hilal malam Jum’at (petang Kamis). Kemudian saya kembali ke Madinah di akhir bulan. Maka bertanya kepada saya Abdullah bin ‘Abbas (sahabat Nabi): Kapan kamu melihat bulan? Jawabku: Malam Jum’at. Maka Ibnu’ Abbas bertanya: Engkau sendiri melihatnya? Jawab saya: Betul, dan juga banyak orang. Kami puasa besoknya dan Khalifah Mua’wiyah puasa pula. Berkata Ibnu ‘Abbas : Ya, kami melihat bulan malam Sabtu, maka kami akan terus puasa sampai 30 hari, kecuali kalau kami melihat hilal pula. Lalu Kuraib bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, Tidak cukupkah dengan ru’yah Mua’wiyyah dan puasanya itu? Ibnu ‘Abbas menjawab: “Tidak”, begitulah memerintahkan kepada kami Rasulullah Saw”. (HR. Imam-imam Muslim, Abu Daud, Nisai dan lain-lain).
Yang kita petik dari hadits ini ialah:
1.  Para Sahabat Nabi seumpama Sayyidina Mua’wiyyah, Saidina Ibnu ‘Abbas, semuanya masuk dan keluar puasa berdasarkan ru’yah (penglihatan mata), bukan berdasarkan potlod (hisab).
2.  Sayyidina Ibnu ‘Abbas tidak mengikuti ru’yah Mu’awiyyah di Syam (Syiria), karena Syiria jauh dari Madinah dan sudah berlain mathla’ (keadaan letak bulan).
3.  Sayyidina Ibnu ‘Abbas menerima ru’yah orang-orang yang berada di Madinah dan sekitarnya saja.
Begitulah jalan yang telah dibentangkan oleh para Sahabat dan Nabi kita, Nabi Muhammad Saw.
Telah bersabda Nabi Muhammad Saw.:
   
Artinya:   “Jangan kamu masuk puasa kecuali kalau melihat hilal dan jangan kamu berhari raya kecuali kalau melihat hilal”. (HR. Bukhari dan Muslim – Sahih Muslim I, hal. 436).
Dalam hadis ini terang-terangan dilarang masuk dan keluar puasa dengan apa jugapun kecuali dengan ru’yah.Tersebut dalam kitab Nihayatul Muhtaj, karangan Imam Ramli:  



Artinya:   “Dan diambil pengertian dari ucapannya itu, bahwa tidaklah wajib (masuk puasa) dengan perkataan tukang hisab, tetapi tidak boleh”. (Nahayah, juz III, pagina 148).
walayajibusshoum.JPGTersebut dalam kitab Iqna’ karangan Muhammad Syarbini al-Khatib begini: 7
 

Artinya:   “Dan tidak wajib masuk puasa dengan perkataan ahli bintang (ahli Nujum), bahkan tidak boleh”. (Iqna’ juz I, hal. 202).
Demikianlah kita nukilkan sedikit perkataan Ulama-ulama Islam yang ma’tabar yang dipercayai oleh dunia Islam.
Sebenarnya kalau kita salin kata Ulama-ulama bertalian dengan hal ini, akan banyak sekali, tapi cukuplah tak usah diperpanjang, karena dalil-dalil dari hadis-hadis Nabi yang kita temukan itu sudah cukup banyak.
huwalladzijaalasyammmmmm.JPGAda orang yang berani memajukan dalil Al-Qur’an. Tuhan Allah berfirman begini kata mereka:
   
Artinya:   “Dia yang menjadikan matahari terang cemerlang dan bulan bercahaya, dan ditetapkannya perjalanannya, supaya kamu tahu bilangan tahun dan perhitungan Tuhan menjadikan itu dengan kebenaran”
(QS. Yunus: 5).
1.   Ayat ini tak ada sangkut pautnya dengan masuk atau keluar puasa, tetapi hanya mengabarkan bahwa beredarnya bumi dikeliling matahari dan beredarnya bulan dikeliling bumi menimbulkan bilangan tahun dan menimbulkan perhitungan-perhitungan.
Hanya hal itu yang dikabarkan Tuhan dengan ayat ini, tak ada dikatakan masuk puasalah dengan hisab ahli falak.
2.   Perkataan “hisab” yang ada dalam ayat ini bukan berarti “hisab ahli falak”, tetapi perhitungan satu, dua, tiga, empat, lima, yakni perhitungan angka-angka.
3.   Di dalam asbabun nuzulnya, ayat tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan penetapan hari raya dan tak seorangpun para mufasir yang menyatakan ayat itu boleh dibuat dalil hisab.
Tuhan berfirman:
   
Artinya:   “Dan tidak pantas bagi orang Mu’min laki-laki dan perempuan apabila diputus sesuatu hukum oleh Allah dan Rasul-Nya akan memilih yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesatlah ia suatu kesesatan yang nyata” (Al-Ahzab: 36).
PENJELASAN :
Ternyata hisab tidak selamanya benar, terbukti pada tanggal 1 Juli 2012 Din Syamsuddin dan Muhammadiyah sudah berani menentukan pada tanggal 20 Juli 2012 adalah awal Ramadhan. Ternyata, hilal belum wujud apalagi Nampak. “Apakah bukan perbuatan kufur karena sudah berani mendahului kehendak Tuhan”. Adalah selalu benar apa yang disabdakan Rasulullah dengan melihat hilal (bulan) selamatlah dari kekufuran.
Penentuan “Rukyah” atau “Itsbat” adalah “Al-Qodhi” yaitu pemerintah “bukan organisasi”. Organisasi harus menjadi tim tersebut. Yang dipantau kurang lebih 81 titik seluruh Indonesia agar tidak terjadi provokatif. “Biar Islam kita tetap sah”, karena puasa merupakan rukun Islam yang ke-4. Kita jangan terlalu mengikuti hawa nafsu.




PERKATAAN ULAMA - ULAMA

Berkata Ibnu Rusyd, pengarang kitab Bidayatul Mujtahid yang terkenal:

 



Artinya:
“Maka Ulama-ulama sepakat (ijma’) bahwasannya bulan Arab itu ada 29 hari dan ada pula 30 hari dan sepakat pula bahwa yang diperpegang untuk puasa bulan Ramadhan hanyalah ru’yah.” (Bidayatul Mujtahid juzu’ I, halaman 284).
Tersebut dalam kitab “Umm” karangan Imam Syafi’I Rda. (wafat 20 H.) pada halaman 94, juzu’ 2 begini:



 


Artinya:
“Mengabarkan kepada kami Rabi’i, beliau berkata: mengabarkan kepada kami Imam Syafi’i, beliau berkata: Mengabarkan kepada kami Malik dan Abdullah bin Dinar, dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah Saw. berkata: Bulan ini ada yang 29, janganlah kamu masuk puasa kecuali kalau kamu melihat bulan (hilal), dan jangan kamu berhari raya kecuali kalau kamu melihatnya, kalau hilal ditutup (oleh awan) maka cukupkanlah bilangan bulan sebelumnya 30 hari”.
Nampak dari uraian kitab Umm ini, bahwa Imam Syafi’i berfatwa bahwa masuk atau keluar puasa haruslah dengan ru’yah (melihat bulan) atau menyempurnakan bilangan bulan yang terdahulu 30 hari. Fatwa beliau berdasarkan hadits ucapan Nabi Muhammad Saw. sendiri.
Dan Imam Syafi’i sendiri berkata: “Barangsiapa mempercayai ramalan bintang-bintang, maka dia telah kafir” (Lihatlah Tafsir Ibnu Katsir, hal. 134 – 149). Jadi jelaslah semua hadis dan para ulama melarang, hanya ulama-ulama Wahabilah yang membolehkannya, karena mereka itu ulama’-ulama’ sesat.
Tersebut dalam kitab Minhaj, karangan Imam Nawawi (wafat: 676 H):

 

Artinya:
“Wajib mempuasakan Ramadhan dengan menyempurnakan bilangan Sya’ban 30, atau ru’yatul hilal (melihat bulan) malam 30-nya”.
Tersebut dalam kitab I’anatut Thalibin, juzu’ 2, halaman 215, karangan Imam Sayid Bakri Syatha begini:

 

Artinya:
“Wajib puasa Ramadhan dengan menyempurnakan hitungan Sya’ban 30 hari atau ru’yah seorang yang adil”.
Kalau dilihat seluruh kitab fikih dalam Madzhab Syafi’i, maka semuanya sependapat, bahwa masuk puasa itu hanyalah dengan ru’yah atau kalau tidak ada ru’yah maka dengan ikmal (mencukupkan bulan yang lalu 30 hari).
Tidak seorang pun yang mengatakan boleh masuk puasa dengan hitungan Ahli Hisab Falak, apalagi hisab-hisab yang dikeluarkan dengan pasti tanggal sekian dan tanggal sekian.
Tersebut dalam kitab Subulussalam, karangan Muhammad bin Isma’il Al Amir begini:


 

Artinya:
“Dan sesungguhnya telah berkata Imam Baji dalam menolak perkataan orang yang mengatakan bahwasanya boleh bagi tukang hisab dan tukang nujum (ahli bintang) dan lain-lain untuk masuk puasa dan berbuka perpegang kepada nujum bahwasanya kesepakatan Ulama-ulama Salaf (ijma) menolak mereka. Dan berkata Imam Bazizah, bahwasannya ini (puasa dengan hisab dan nujum) adalah Madzhab yang bathil.” (Subulussalam, juzu’ II, halaman 152).
Seterusnya pengarang Subulussalam mengatakan:
 


Artinya:
“Jawab yang terang untuk mereka adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Ibnu ‘Umar, “Bahwasannya kami adalah ummat yang Ummi tidak menulis dan tidak terhitung, Bulan itu adalah begini, begini. (H. Riwayat Imam Bukhari – Sahih Bukhari I, halaman 251).
Terang dalam hadits ini bahwa Nabi Muhammad Saw. tidak memakai hisab dalam masuk dan keluar puasa.

 

Artinya:
“Dan ada fatwa satu kaum bahwa untuk menentukan bulan itu dengan “tasyir” (hisab perjalanan bulan dan bintang-bintang). Orang itu ialah kaum Rafidhi. (Fathul Bari juzu’ V Halaman 29).
Kaum Rafidhi itu ialah kaum Syi’ah yang sesat.
Rasulullah Saw. bersabda:

 

Artinya:
“Siapa yang mempelajari sebagian ramalan bintang, maka dia (sama dengan) mempelajari sebagian ilmu sihir. Bertambahnya (syirik) sesuai dengan sejauh mana larutnya dalam ilmu tersebut.”

 
Artinya:
“Yang aku takuti hanyalah membenarkan bintang-bintang, mendustakan takdir, dan munculnya imam-imam yang aniaya.”

والله اعلم بالصواب
 

08--shumulirukyatihi.jpg