BID'AH HASANAH
PERINTAH NABI
SUPAYA MENGIKUTI BID'AH PARA SAHABAT
HADITS KE-1
Artinya :
"Pegang teguhlah Sunnah aku dan sunnah Khalifah-Khalifah Rasyidin sesudah aku, pegang teguhlah dengan gerahammu”. (Hadits riwayat Imam Abu Daud dan Tirmidzi. Lihat Sunan Abu Daud Juzu’ II hal. 201)
"Pegang teguhlah Sunnah aku dan sunnah Khalifah-Khalifah Rasyidin sesudah aku, pegang teguhlah dengan gerahammu”. (Hadits riwayat Imam Abu Daud dan Tirmidzi. Lihat Sunan Abu Daud Juzu’ II hal. 201)
HADITS
KE-2
Nabi bersabda,
Artinya :
“Bahwasanya
Bani Israil telah berfirqah-firqah sebanyak 72 millah (firqah) dan akan
berfirqah umatku sebanyak 73 firqah, semuanya masuk neraka kecuali satu”.
Sahabat-sahabat yang mendengar ucapan ini
bertanya, “Siapakah yang satu itu ya Rasulullah?” Nabi menjawab, “Yang satu itu ialah orang
yang berpegang (beri i’tiqad) sebagai peganganku (i’tiqadku) dan pegangan
sahabat-sahabatku”. (Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, lihat Shahih Tirmidzi
juz X)
HADITS KE-3
Tersebut
dalam kitab Thabrani, bahwa Nabi bersabda:
Artinya :
“Demi
Tuhan yang memegang jiwa Muhammad di tangan-Nya, akan berfirqah ummatku
sebanyak 73 firqah yang satu masuk surga dan yang lain masuk neraka”.
Bertanya para sahabat, “Siapakah firqah
(yang tidak masuk neraka) itu ya Rasulullah?”
Nabi menjawab, “Ahlussunnah wal Jama’ah”.
(Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Thabrani).
Hadits
yang serupa ini artinya tersebut juga dalam kitab “Al-Milal wan Nihal” juz I
halaman 11, karangan Syahrastani (wafat: 548 H).
HADITS
KE-4
Artinya : “Menyampaikan Rasullah SAW akan pecah
ummatku menjadi 73 golongan, yang selamat satu golongan dan sisanya hancur,
ditanya siapakah yang selamat Rasulullah? Beliau menjawab, “Ahlussunnah wal
Jama’ah”, Beliau ditanya lagi apa maksud dari Ahlussunnah wal Jama’ah? Beliau
menjawab, “Golongan yang mengikuti sunnahku dan sunnah sahabatku”.
HADITS KE-5
Kemudian beliau memberi kami nasehat:
Artinya:
“Saya
beri wasiati kamu sekalian supaya kamu bertaqwa kepada Allah, mendengar dan
patuh kepada Kepala (Ulil Amri), walaupun Ulil Amri itu orang berkulit hitam
sekalipun. Selanjutnya beliau mewasiatkan; siapa yang hidup lama di antara kamu
kemudian aku, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak. Pada waktu itu
hendaklah kamu mengikut Sunnahku dan Sunnah Khalifah-khalifah Rasyidin yang
dapat petunjuk yang benar. Pegang teguh semua itu dan gigitlah dengan
gerahammu. Jauhilah perkara baru yang diada-adakan (bid’ah), karena “semua”
yang baru yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan “semua bid’ah” itu adalah
sesat”. (HR. Abu Daud lihat Sunan Abu Daud juz 4 – hal 201)
HADITS KE-6
Nabi Muhammad SAW bersabda:
Artinya:
Dari
Mu’adz bin Jabal, bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutusnya ke Yaman
bertanya kepada Muadz: “Bagaimana caranya engkau memutuskan perkara yang dibawa
ke hadapanmu?”
“Saya akan memutuskannya menurut yang
tersebut dalam Kitabullah”; kata Muadz.
Nabi bertanya lagi: “Kalau engkau tidak
menemukannya dalam Kitabullah, bagaimana?”
Jawab Muadz: “Saya akan memutuskannya
menurut Sunnah Rasul”.
Nabi bertanya lagi: “Kalau engkau tak
menemui itu dalam sunnah Rasul, bagaimana?”
Muadz menjawab: “Ketika itu saya akan
ber-ijtihad, tanpa bimbang sedikitpun”.
Mendengar jawaban itu Nabi Muhammad SAW
meletakkan tangannya ke dadanya dan berkata:
“Semua puji bagi Allah yang telah memberi
taufiq utusan Rasulullah sehingga menyenangkan hati RasulNya.”
(Hadits Riwayat Imam Tirmidzi dan Abu Daud – Sahih Tirmidzi juz II, hal. 68 – 69, dan Sunnah Abu Daud, juz III – halaman 303).
Dalam hadits ini Imam Mujtahid diberi izin
seluas-luasnya untuk ber-ijtihad bilamana hukum-hukum sesuatu tidak ditemui dalam Al-Qur’an
dan Hadits.
Ternyata dalam hadits ini Muadz bin Jabal dianjurkan berbuat “BID’AH HASANAH” seluas-luasnya.
HADITS
KE-7
Dalam kitab Hadits Bukhari tersebut:
Artinya:
Dari
Abdurrahman bin Abdul Qarai, beliau berkata: “Saya keluar bersama Sayyidina
Umar bin Khattab (Khalifah Rasyidin) pada suatu malam bulan Ramadhan ke masjid
Madinah.
Didapati dalam masjid itu orang-orang
sembahyang tarawih bercerai-cerai. Ada yang sembahyang sendiri-sendiri, dan ada
yang sembahyang dengan beberapa orang di belakangnya. Maka Sayyidina Umar
berkata, “Saya berpendapat akan mempersatukan orang-orang ini. Kalau disatukan
dengan seorang imam sesungguhnya lebih baik, serupa dengan sembahyang
Rasulullah”. Maka beliau satukan orang-orang itu sembahyang di belakang seorang
imam, namanya Ubai bin Ka’ab.
Kemudian pada suatu malam kami datang
lagi ke masjid, lalu kami melihat orang sembahyang berkaum-kaum di belakang
seorang imam. Sayyidina Umar berkata: “Ini adalah bid’ah yang baik”. (Shahih
Bukhari I – hal. 242)
Hadits ini tersebut juga dalam kitab “Muwatha’ Imam Mali k, Juz I – hal. 136 – 137.
Ternyatalah dari riwayat ini bahwa sembahyang tarawih berjama’ah terus menerus dalam bulan Ramadhan adalah pekerjaan bid’ah karena tidak dikenal pada zaman Nabi. Tetapi bid’ahnya menurut Sayyidina Umar, adalah baik, – bid’ah hasanah.
HADITS KE-8
Artinya:
Dari Saib
bin Yazid beliau berkata: “Adalah azan di waktu Jum’at permulaannya apabila
duduk Imam di ats mimbar pada zaman Nabi, pada masa Abu Bakar dan Umar ra.
Ketika zaman Utsman ra. dimana orang sudah bertambah banyak maka beliau
(Sayyidina Utsman) menambah azan yang ketiga di atas zaura.
(HR. Bukhari – Shahih Bukhari I – halaman
116)
Hadits
ini menyatakan bahwa pada zaman Nabi dan masa Khalifah Abu Bakar dan Umar ra.
azan waktu sembahyang Jum’at ada dua kali (satu azan dan qamat). Kemudian
setelah manusia berkembang ditambah azan yang ketiga, (sekarang dinamai azan
pertama) dalam sembahyang Jum’at.
Dengan
demikian maka azan-azan yang pertama itu adalah “bid’ah” hasanah
yang diadakan oleh Khalifah Rasyidin Sayyidina Utsman, yang kita diperintahkan
oleh Nabi untuk mengikutinya.
Selain
membukukan Qur’an, sembahyang tarawih berjama’ah terus-menerus pada bulan
Ramadhan dan azan pertama pada waktu sembahyang Jum’at, ada lagi beberapa
masalah agama lainnya yang diadakan oleh Khalifah-khalifah Rasyidin Abu Bakar,
Umar, Utsman, dan Ali ra.
Ummat
Islam diperintahkan oleh Nabi Muhammad saw, supaya mengikuti sunnah Khalifah
Rasyidin itu.
Barangsiapa
yang tidak mau mengikuti sunnah Khalifah Rasyidin, berarti tidak mengikuti
sunnah Nabi. Na’udzubillah!
HADITS
KE-9
Beliau berkata begini:
Artinya:
Bahwasanya
Huzaifah bin Yaman datang kepada Sayyidina Utsman (Khalifah ketiga). Ketika itu
Huzaifah mengepalai jihad di daerah Syam dalam memerangi Armini dan Azarbaiyan.
Huzaifah sangat terkejut mendengar perbedaan-perbedaan prajurit dalam membaca
Al-Qur’an. Maka datanglah Huzaifah kepada Khalifah Utsman bin Affan, lalu
beliau berkata: “Hai Khalifah, buru-burulah menolong ummat Islam sebelum mereka
berselisih tentang kitab suci sebagai perselisihan Yahudi dan Nashara”.
Maka Sayyidina Utsman meminta kepada Siti
Hafasah agar kumpulan Qur’an yang ada di tangan beliau diberikan kepadanya
untuk disalin dan kemudian dikembalikan.
Maka Siti Hafsah memberikan mushaf yang
disimpannya itu kepada Sayyidina Utsman bin Affan yang ketika itu menjadi
Khalifah ke-3.
Sayyidina Utsman menunjuk empat orang
sahabat untuk menyalin Qur’an itu,
yaitu:
1. Zaid
bin Tsabit, penulis wahyu di zaman Rasulullah,
2. Abdullah
bin Zuber,
3. Said
bin ‘Ash,
4. Abdurrahman
bin Harits bin Hisyam.
Dari uraian kedua hadits Bukhari nampak bahwa menuliskan Qur’an dalam satu mushaf adalah sunnah Khalifah Rasyidin yang belum dikenal pada zaman Nabi.
Ini boleh juga dikatakan bid’ah, tetapi bid’ah
hasanah, yaitu bid’ah yang baik.
(H.R. Bukhari, lihat Fathul Bari X, hal.
390 – 396)
Dari keterangan hadits 1 sampai 5, betapa kita diwajibkan untuk mengikuti sunnah para sahabat yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah Saw. Bahkan dalam hadits yang ke-4 selain ahlu sunnah wal jama’ah akan hancur. Dari keterangan hadits yang ke-6 pada zaman Rasulullah, cuma gandum, lembu emas dan perak. Tetapi pada zaman sekarang, padi, kerbau, uang kertas tidak dikenal (tidak ada haditsnya) akan tetapi tetap wajib dikeluarkan zakatnya. Ini juga bid’ah hasanah.
Dari keterangan hadits 7 – 9, betapa banyak bid’ah-bid’ah hasanah pada zaman sahabat. Bahkan Sayyidina Umar r.a. dengan terang mengatakan ini adalah bid’ah yang baik. Maka dengan demikian, pantaslah seperti imam mujtahid yang hafal ratusan ribu hadits yang membagikan 2 kelompok besar, bid’ah hasanah dan madhmumah. Dengan penjelasan hadits di atas yang dimaksud
Dari potongan hadits yang ke-5 di atas dapat diambil maksud,
“Ikutilah Sunnahku”, kata Nabi, “dan Sunnah Sahabatku baru”, bid’ah yang
baru/menyimpang dari syari’at Islam yang baru dikatakan sesat, karena sangat
banyak sekali bersangkutan dengan banyak hadits-hadits yang lain. Jika tidak
asal bicara, usholli bid’ah, tahlil, maulid Nabi, yasinan sesat, baca burdah
sesat. Kalau memahami hadits serampangan seperti ini semua sesat dengan
sendirinya orang yang mengatakan sesat. Dia tidak merasa tiap hari melakukan
kesesatan, mengapa tidak, Nabi pakai sorban, jubah, naik onta. Nah coba
bayangkan sendiri, masjid pada saat itu, masjid Quba cuma dikelilingi tembok,
tidak ada mihrob, menara dan sebagainya. Lebih jelas lagi sebagaimana yang
termaktup hadits muslim.
Juga Nabi SAW pernah berkata:
Artinya : “Barangsiapa mengadakan sunnah yang bagus
dalam Islam, maka diamalkan oleh orang kemudian, diberikan pahala sebagai
pahala orang mengerjakan kemudian, dan tidak akan dikurangkan sedikitpun. Dan
barangsiapa mengerjakan sunnah yang jelek diamalkan oleh orang, maka akan
mendapat dosa seperti dosa orang yang mengerjakan kemudian, dan tidak
dikurangkan sedikitpun
(HR. Muslim, syarah Muslim XIV
– hal. 226)
Jelas sekali kita dianjurkan mengadakan sunnah hasanah (Bid’ah Hasanah), dalam hadits Muslim kita dianjurkan mengerjakan Bid’ah Hasanah asal tidak bertentangan dengan syareat Islam.
1. Rosul mendengar sandal, sahabat Bilal di surga. Dengan apa engkau mendahului aku ke surga? Bilal menjawab, aku belum pernah berwudlu baik siang maupun malam kecuali aku melanjutkan dengan sholat sunnat 2 rokaat yang aku tentukan waktunya, padahal Rosul tidak menyareatkan. ( Lihat Bukhari Muslim, (1149) (6274) )
2. Ibnu Abbas mundur dari
barisan jamaah sholat Rasulullah atas inisiatifnya sendiri. Rosul bertanya,
“Kenapa kamu mundur?, Ibnu Abbas menjawab, “Tidak selayaknya seorang makmum
lurus di sampingmu ya Rosul”, Nabi senang mendengar jawaban tadi sampai
sekarang menjadi ketetapan. ( Imam Ahmad (3061) )
Inilah faham ahlu sunnah wal jama’ah yang selalu berpegang
teguh pada sunnah Rasul dan para sahabatnya juga tabi’it tabi’in, karena mereka
puluhan tahun mendampingi Rasul. Lain halnya dengan faham selain ahlu sunnah
wal jama’ah, yang selalu mengagungkan Ibnu Taimiyah, pindah ke Basyrah dan Kuffah.
Dihujat karena fahamnya yang ganjil-ganjil ke sana kemari. Dihukum oleh
penguasa. Dan yang terakhir ini dihukum 18 bulan, sampai meninggal dunia. Dalam
tahanan, faham ini yang dibeking oleh seorang Yahudi, yang bernama Abu Saud.
Kerajaan Saudi pada saat itu, jadi tidak heran kalau dalilnya selalu mengambil
ayat-ayat kuffar, untuk menghantam kaum muslimin pada saat itu. Ziarah kubur
syirik, tawassul syirik, sholawat, dzikir syirik. Faham ini dikembangkan oleh
Abd. Wahab/Wahabi, dia sudah terkontaminasi oleh orang Inggris yang bernama Mr.
Hemper. Umat Islam dihantam dari dalam Islam itu sendiri. Menabur fitnah kesana
kemari, tuduhan-tuduhan bid’ah, khurafat, pemurnian tauhid pada intinya mau
menghapuskan syareat Islam dari dalam. Faham ini dikembangkan oleh Imam Satibi
yang membid’ahkan dzikir sesudah shalat, juga berjabat tangan sesudah sholat,
padahal sudah jelas, sudah termaktub di dalam hadits Bukhori.
Lebih jauh lagi faham itu, dikembangkan oleh Wasil bin Athok
dan Rasyid Ridho. Bahkan yang lebih ekstrim lagi menuduh Sayyidina Umar Ahli
Bid’ah, akan tetapi kenapa pengikut-pengikut yang ada di Indoneisa ini rela
sahabat kita tercinta dikatakan sesat, perampas kekuasaan dan sebagainya.
Padahal sudah jelas firman Allah swt., “Dia dijamin masuk surga (QS. At-Taubah:
100) (“sahabat adalah Umat yang terbaik”) QS. Ali Imron: 110). Bahkan kata Nabi
sahabat adalah pegangan bagi umatku (HR. Muslim). Sudah jelas kiranya kita ini
termasuk golongan yang mana.
Dari uraian di atas, semoga kita pandai-pandai di dalam
mengambil kesimpulan. Sabda Nabi Muhammad SAW.
Artinya: “Sesungguhnya
ilmu ini adalah agama, maka tiliklah dari siapa kamu mengambil pelajaran
agamamu.”
BID’AH LUGHOTAN
Ialah bid’ah secara
istilah. Secara bahasa misalnya: di zaman Nabi, yang ada cuma kuda, unta,
kambing, dinar dan dirham, kurma, gandum dan Al-Qur’an yang ada pada tembikar,
pelepah kurma, di batuputih, dan pakaian Nabi selalu pakai gamis (sorban).
Misalkan kita tidak persis sama dengan contoh di atas tidak apa-apa, karena itu
cuma istilah saja.
Ialah bid’ah secara
syar’i, yaitu amalan yang sudah ditetapkan dalam syari’at Islam. Misalkan
sholat 5 waktu ditambah menjadi 6, puasa pada hari tasyrik, percaya ada nabi
sesudah Nabi Muhammad. sholat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
menambah-nambah ayat Al-Qur’an, pergi haji bukan ke Makkah, karena semua ini
menyimpang dari syari’at yang sudah ditetapkan dalam Islam
تَشرِعُوا
مَالَمْ يُشَرَّعْ (mensyariatkan
yang bukan syariat). Inilah namanya
فِى النَّارِ كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٌ.
“Kullu di situ dibatasi jangkauannya”, artinya yang bertentangan dengan syari’at atau dilarang syari’at, itulah yang sesat.
فِى النَّارِ كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٌ.
“Kullu di situ dibatasi jangkauannya”, artinya yang bertentangan dengan syari’at atau dilarang syari’at, itulah yang sesat.
SEMUA BID'AH SESAT
Kalau kita mengartikan
semua bid’ah sesat, anda akan termakan oleh bid’ah itu sendiri. Coba bayangkan:
1.
Karena kita membaca
Al-Qur’an hasil bid’ah Sayyidina Umar, disetujui Abu Bakar, sebagai
penulisnya Zaid bin Tsabit. (HR. Bukhori, Fathul Bari X. hal. 385 – 390)
2.
Kita membaca Al-Qur’an
mushaf Utsman. Karena pada zaman Rasul ditulis di pelepah kurma, tembikar,
batu putih (HR. Bukhari, Fathul Bari (390 – 396)
3.
Sholat tarawih
berjama’ah dalam 1 bulan itu atas inisiatif Sayyidina Umar, apalagi membaca
surat Al-Qur’an sampai khatam dan doa hotmil Qur’an dibaca pula pada akhir
bulan puasa, apa itu juga bukan bid’ah? (Shahih Bukhari I, hal. 136-137)
4.
Adzan permulaan sholat
Jum’at juga inisiatif Sayyidina Utsman (Shahih Bukhari I, hal. 116) dan
kita diwajibkan mengikutinya. Lihatlah hadis 1 – 5. Kita mengaku ahlu sunnah
wal jama’ah tetapi kenyataannya tidak mau mengikuti sunnah para sahabat.
5.
Bacaan dalam sholat سَمِعَ اللهُ
لِمَنْ حَمِدَهُ pada saat itu ada seorang makmum menambah bacaan
رَبَّنَاوَلَكَالْحَمْدُحَمْدًاكَثِيْرًامُبَارَكًافِيْهِ. Setelah selesai sholat, beliau bertanya, “Siapa yang membaca kalimat tadi?”. Lalu laki-laki itu menjawab, “Saya ya Rasul”. Beliau bersabda, “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”. Al-Bukhari (799). An-Nisai (1016). Abu Dawud (770). Ahmad (4/340) dan Ibnu Khuzaimah (614). Apakah ini bukan bid’ah?
رَبَّنَاوَلَكَالْحَمْدُحَمْدًاكَثِيْرًامُبَارَكًافِيْهِ. Setelah selesai sholat, beliau bertanya, “Siapa yang membaca kalimat tadi?”. Lalu laki-laki itu menjawab, “Saya ya Rasul”. Beliau bersabda, “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”. Al-Bukhari (799). An-Nisai (1016). Abu Dawud (770). Ahmad (4/340) dan Ibnu Khuzaimah (614). Apakah ini bukan bid’ah?
6.
Pemberian titik dalam
penulisan mushaf, yang dikerjakan oleh Yahya bin Ya’mur dan penulisan
harokat oleh Daudh Ad-Dauli juga tidak ada perintah Rasul, karena kalau
tidak diberi titik tidak bisa membedakan mana itu “nun” atau “yak” dan “bak”. Jelas
dengan adanya bid’ah tersebut, dapat memudahkan kita dalam membaca Al-Qur’an.
Anda lihat Al-Masahif hal. 158. Siapa yang tidak lepas dari bid’ah semua
ini, seperti Nahwu, Shorrof, Tajwid, semuanya bid’ah seperti yang
dijelaskan dalam syarah Shohih Muslim:
قَوْلُهُ
صلعم وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ هذَاعَامٌ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبٌ البِدْعَ (
شرح صحيح مسلم )
Sabda Nabi SAW: “Semua
bid’ah sesat” ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya (sebagian
bid’ah yang menyimpang dari syariat yang sesat). (Syarah Shahih Muslim, 6/154)
(Shahih Muslim Syarah Muslim XIV, hal. 226)
7. Khutbah yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, baik pada sholat Jum’at dan sholat 2 Hari Raya Besar, semuanya bid’ah. Karena tidak ada pada zaman Rasul, sedangkan zaman Rasul semua pakai Bahasa Arab, kalau anti bid’ah kenapa dikerjakan orang-orang Wahabi itu.
8. Seorang Imam ketika membaca Takbir Intiqol (takbir untuk perpindahan rukuk sholat, misalnya dari berdiri ke rukuk, ke sujud) disunnahkan bersuara keras, demikian pula ketika Bilal menyampaikan aba-aba, hal ini supaya didengar oleh makmum yang lain, ini pun juga bid’ah. Kalau memang “setiap bid’ah sesat, kenapa dikerjakan oleh orang-orang Wahabi itu”. Perhatikan kalau sholat tarawih di Masjidil Haram tersebut.
9.
Satu saat ulama Wahabi
bersikukuh, “Bahwa semua bid’ah itu sesat”, tidak ada pembagian sama sekali, di
sisi lain mengatakan bid’ah dibagi 2 bid’ah dunia dan keagamaan (Al-Utsaimin,
Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah, hal. 639 – 640). Agaknya Wahabi ini bukan
munafik lagi, tapi “mencla-mencle”. Hadist mana yang membagikan
yang kesatu bid’ah keduniawian dan yang kedua
bid’ah keagamaan kalau bukan mengada-ada.
المَبْطُوْلُ مُتَنَاقِضٌ،لِأَنَّ اللهَ
تَعَالَى قَالَ : وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا
فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا ( النساء:٨٢
)
“Orang yang memiliki
ajaran bathil pasti kontradiksi dengan dirinya sendiri. Karena Allah SWT telah
berfirman, “Kalau kiranya Al-Qur’an bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (QS. An-Nisa’: 82)”
Jelas kalau memang
ajarannya itu benar kata Al-Qur’an tidak ada pertentangan di dalam-Nya.
10. “Sayyidina Ali berkata, Abu Bakar bila membaca
Al-Qur’an dengan suara lirih. Sedangkan Umar dengan suara keras. Dan Ammar
dengan mencampur surah ini dan surah itu. Kemudian hal ini dilaporkan
kepada Rasulullah sehingga beliau bertanya kepada Abu Bakar, “Mengapa
kamu membaca dengan suara lirih?” Ia menjawab, “Allah mendengar
walau suara lirih”. Lalu bertanya kepada Umar, “Mengapa membaca
dengan suara keras?” Umar menjawab, “Aku mengusir setan dan
menghilangkan kantuk”. Lalu bertanya kepada Ammar, “Mengapa kamu
mencapur surah ini dan surah itu?” Ammar menjawab, “Apakah engkau
pernah mendengarku mencampurnya dengan sesuatu yang bukan Al-Qur’an?”
Beliau menjawab, “Tidak”. Beliau bersabda, “Semuanya
baik”. Tidak selamanya yang belum diajarkan Nabi itu buruk. Cara
Ammar inilah yang ditiru Tahlil Indonesia yang mencampur Ayat-ayat Al-Qur’an.
(Imam Ahmad, 865)
11. “Umar berkata, “Seorang laki-laki datang saat sholat berjama’ah didirikan, setelah sampai di shaf, laki-laki itu berkata,
اللهُ
أَكْبَرُكَبِيْرًاوَالْحَمدُلِلّهِ كَثِيْرًاوَسُبْحَانَ اللهُ بُكْرَةً
وَاَصِيْلًا
Setelah Nabi selesai
sholat, beliau bertanya, “Siapa yang mengucapkan kalimat itu?” Laki-laki
itu menjawab, “Saya ya Rasul”. Nabi menjawab, “Demi Allah,
saya melihat pintu-
pintu langit terbuka menyambut kalimat itu”. Ibnu Umar berkata, “Aku belum pernah meninggalkannya sejak mendengarnya”. (Shohih Muslim, (1357), At-Tirmidzi (3592), An-Nisa’i (884), Ahmad (2 / 14)
pintu langit terbuka menyambut kalimat itu”. Ibnu Umar berkata, “Aku belum pernah meninggalkannya sejak mendengarnya”. (Shohih Muslim, (1357), At-Tirmidzi (3592), An-Nisa’i (884), Ahmad (2 / 14)
Kalau kita telusuri sebetulnya ada segudang bid’ah hasanah
dalam bidang syari’at ini, cuma kenapa tidak mau kepada anjuran (wasiat Rasul) supaya
mengikuti bid’ah para sahabat dan tabi’in. Rupanya identik dengan namanya “Salafi
Yahudi”, kenapa dikatakan “Salafi Yahudi”, karena tokoh mereka seperti
Dzul Khuwaisiroh dan Musailamah al-Kadzzab (nabi palsu) adalah antek-antek
Yahudi, diteruskan oleh Ibnu Taimiyah dan Abdul Wahab (Wahabi). Itu pun bagian
dari Mr. Hempher dan Abu Sa’ud yang juga seorang Yahudi.
Yang lebih aneh lagi, kalau memperingati “Maulid Nabi Muhammad SAW”,
dikatakan bid’ah sesat, tapi kalau memperingati sepekan “Haul al-Utsaimin
dan Abdul Wahab sangat gairah sekali sampai-sampai tidak ada yang melebihi
keduanya itu di dunia ini. Dan Muhammad SAW dianggap sudah jadi bangkai (sudah
jadi tanah), “Lebih manfaat dari tongkatku ini, karena bisa dipakai
untuk membunuh ular”, kata Salafi Yahudi. Itu sungguh dia telah
sesat, suatu kesesatan yang nyata.
Jadi yang dimaksud surat Al-Maidah
الْيَوْمَ اَكْمَلـْتُ
لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ
الإِسْلاَمَ دِيْنًا
adalah secara syar’i
Adapun amalan-amalan sunnah, asal tidak bertentangan dengan syari’at Islam
tidak apa-apa karena sumbernya dari Al-Qur’an Hadis
Yang perlu diperhatikan lagi ialah mengeluarkan zakat fitrah memakai beras, diqiyaskan pada gandum dan kurma. Rupiah diqiyaskan pada dirham dan dinar. Semua itu adalah BID'AH HASANAH yang tidak dapat kita hindari. Orang yang selalu mengatakan Bid'ah Sesat ternyata tanpa disadari mereka mengerjakannya. Semoga dapat disadari
.
.
DI ANTARA BID'AH HASANAH ADALAH :
MEMBACA TAHLIL
Tahlil artinya pengucapan kalimat لااله الاالله. Tahlilan, artinya: bersama-sama melakukan do’a bagi orang (keluarga, teman dsb) yang sudah meninggal dunia, semoga diterima amalnya dan diampuni dosanya oleh Allah SWT, yang sebelum do’a diucapkan beberapa kalimah thayyibah (kalimah-kalimah yang bagus, yang agung), berwujud hamdalah, shalawat, tasbih, beberapa ayat suci Al-Qur’an dan tidak ketinggalan Hailalah (tahlil), yang kemudian dominan menjadi nama dari kegiatan itu seluruhnya, menjadi tahlil atau tahlilan.Tahlil atau tahlilan ini menjadi salah satu sasaran tembak oleh para “pembaharu”, kaum modernis untuk dihapus dari kegiatan kaum muslimin, karena dianggap keliru, bahkan sesat (na’udzu billah).Dan siapa saja yang mau menelusuri budaya tahlil ini, niscaya akan mendapatkan bahwa tahlil memiliki sandaran yang kokoh dari Al-Qur’an, Al-Sunnah, serta pendapat-pendapat dari para ulama salaf yang shalih. Tidak satupun dari butir-butir upacara tahlil itu bertentangan dengan ajaran agama Islam. Untuk membuktikan hal tersebut, berikut ini akan dipaparkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.Bersumber dari Hadits yang shahih:Artinya: “Dari Abi Hurairah RA ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum di dalam salah satu rumah Allah SWT, sambil membaca Al-Qur’an bersama-sama, kecuali Allah SWT akan menurunkan kepada mereka ketenangan hati, meliputi mereka dengan rahmat, di kelilingi para malaikat, dan Allah SWT memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya”. (Sunan Ibnu Majah, [221])Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abi Sa’id Al-Khudri, Rasulullah SAW bersabda:Artinya : “Dari Abi Sa’id Al-Khudri ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Dan tidaklah berkumpul suatu kaum sambil menyebut asma Allah SWT kecuali mereka akan dikelilingi para malaikat, Allah SWT akan melimpahkan rahmat kepada mereka, memberikan ketenangan hati, dan memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (Shahih Muslim, [4868]).Mengenai keutamaan لااله الاالله ini suatu hadits khusus yang diriwayatkan dari Jabir ra. bahwa telah bersabda Rasulullah saw.
Artinya: “Seutama-utama dzikir adalah La ilaaha illallah. Dan seutama-utama doa adalah alhamdulillah.” (HR. At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim).Dan diriwayatkan dari Sayyidina Ali kw. bahwa bersabda Rasulullah saw. mengenai hadits Qudsy: berfirman Allah swt.Artinya: “Lailaha illallah itu perkataanku. Dan Akulah Dia. Barangsiapa mengucapkannya, masuklah ia ke dalam bentengku. Dan barangsiapa yang masuk ke dalam bentengku, amanlah ia dari siksaku.” (Dikeluarkan oleh As-Syairozi).Tuhan berfirman:Artinya: “Barangsiapa yang tidak mau mengingat Aku dia akan mendapat kehidupan yang sulit dan di akhirat akan dikumpulkan sebagai orang buta”. (Thaha: 124).Nah, ayat ini mengecam kepada orang yang tidak mau dzikir kepada Tuhan maka ia akan diberi kehidupan yang “dhanka” (kehidupan gelisah), dan di akhirat sebagai orang buta, tidak tahu jalan yang akan ditempuh.Maka heranlah kita kenapakah ada golongan dalam Islam yang tidak menyukai dzikir ini dan yang menganggap remeh pada hal ayat Tuhan bertubi-tubi menggerakkan ummat supaya dzikir. Apakah mereka tidak membaca ayat-ayat ini? Tidak mungkin pula.Mungkin mereka dipengaruhi aksi “modernisasi” yaitu sebuah penyakit yang berjangkit juga dalam kalangan ummat Islam di mana-mana.Yang berpendapat bahwa hadiah pahala itu tidak sampai kepada orang yang telah meninggal dunia adalah ahli bid’ah dan kaum mu’tazilah. Sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Al-Qayyim:Artinya: “Para ahli bid’ah dari kalangan Ahli Kalam berpendapat bahwa menghadiahkan pahala baik berupa do’a atau lainnya sama sekali tidak sampai kepada orang yang telah meninggal dunia”. (Al-Ruh: 117).Membaca Al-Qur’an atas orang-orang yang telah meninggalImam Syafi’i RA sendiri berpendapat sunnah membaca Al-Qur’an di dekat mayit. Imam Syafi’i RA. berkata:Artinya: “Disunnahkan membaca sebagian ayat Al-Qur’an di dekat mayit, dan lebih baik lagi jika mereka (pelayat) membaca Al-Qur’an sampai khatam.” (Dalil Al-Falihin, juz VI, hal. 103).Dan banyak riwayat yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i RA berziarah ke makam Laits bin Sa’ad dan membaca Al-Qur’an di makam tersebut.Artinya: “Sudah populer diketahui oleh banyak orang bahwa Imam Syafi’i pernah berziarah ke makam Laits bin Sa’ad. Beliau memujinya, dan membaca Al-Qur’an sekali khatam di dekat makamnya. Lalu beliau berkata, “Saya berharap semoga hal ini terus berlanjut dan senantiasa dilakukan”. (Al-Dakhirah Al-Tsaminah, 64).Tersebut dalam hadits Muslim begini:Artinya: “Dari Mi’qal bin Yasar, berkata Nabi Muhammad SAW, bacakanlah untuk orang yang mati surat Yasin”. (HR. Abu Daud, lihat Sunan Abu Daud juz III, hal. 91).Dalam hadits ini dinyatakan bahwa orang yang telah mati baik sekali dibacakan surat Yasin, yang faedah (pahala) membacanya itu dihadiahkan kepada orang telah mati itu.Arti “mautakum” dalam hadits ini adalah orang yang telah mati dengan bukti bahwa Imam Abu Daud memberi judul hadits ini dengan “Babul Qiraati ‘indal maiyati” artinya “Bab membaca ayat di hadapan orang mati”.Tuhan berfirman dalam Al-Qur’anul Karim begini:Artinya: “Dan orang-orang yang beriman dan diikuti oleh anak cucu mereka tentang iman itu, Kami – kata Tuhan – akan menghubungkan anak cucu mereka dengan tidak mengurangkan sedikitpun dari amal mereka.” (At-Thur: 21).Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa memasuki pemakaman lalu membaca Surat Al-Fatihah, Al-Ikhlash, dan At-Takatsur, lalu berdo’a, “Aku hadiahkan pahala bacaan yang aku baca dari firman-Mu untuk semua ahli kubur dari kalangan mukminin dan mukminat”, maka semua ahli kubur itu akan memberikan syafa’at (pertolongan) kepada orang yang membaca surat tersebut” (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Al-Qasim Al-Zaila’i, Haula Khashaish Al-Qur’an, 45).Hadits riwayat Ma’qil bin Yasar RA.Artinya: “Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Surat Yasin adalah intisari Al-Qur’an. Tidaklah seseorang membacanya dengan mengharap rahmat Allah SWT kecuali Allah SWT akan mengampuni dosa-dosanya. Maka bacalah Surat Yasin atas orang-orang yang telah meninggal di antara kamu sekalian” (Musnad Ahmad bin Hanbal, [19415]).Hadits di atas secara tegas menganjurkan membaca Al-Qur’an untuk orang yang telah meninggal dunia, karena yang dimaksud mautakum dalam hadits tersebut adalah orang-orang yang telah diambil ruhnya. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Haula Khashaish Al-Qur’an.Artinya: “Syekh Muhibbuddin Al-Thabari mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata mautakum dalam hadits tersebut adalah orang yang ruhnya telah berpisah dari jasadnya.”Hadits Abu Dzar RA.Artinya: “Dari Abu Dzarr RA, ada beberapa sahabat berkata kepada Nabi SAW, “Ya Rasulullah, orang-orang yang kaya bisa (beruntung) mendapatkan banyak pahala. (Padahal) mereka shalat seperti kami shalat. Mereka berpuasa seperti kami berpuasa. Mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka. Nabi SAW menjawab, “Bukankah Allah SWT telah menyediakan untukmu sesuatu yang dapat kamu sedekahkan? Sesungguhnya setiap satu tasbih (yang kamu baca) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah”. (Shahih Muslim, [1674])KEUTAMAAN BERKUMPUL UNTUK BERDZIKIR KEPADA ALLAH
Sebagaimana berdzikir yang boleh dilakukan secara sendiri dan dalam keadaan sepi, berdzikir juga boleh dilakukan secara bersama dan terbuka. Bahkan inilah yang lebih utama dan lebih agung.
"Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah memiliki malaikat utama yang berkeliling mencari majelis-majelis dzikir di bumi. Jika mereka mendatangi majelis dzikir, maka sebagian mereka mengepakkan sayap-sayap mereka ke langit. Allah bertanya: "Dari mana kalian?" Dan Allah Maha Mengetahui. Malaikat menjawab: "Kami dari hamba-hamba-Mu yang mensucikan-Mu, mengagungkan-Mu, memuji-Mu, bertahlil kepada-Mu, meminta kepada-Mu dan mencari keselamatan dari-Mu". Lalu Allah berfirman bertanya lagi: "Apa yang mereka minta?" Dan Allah Maha Mengetahui, malaikat menjawab: Wahai Tuhan kami, mereka meminta surga". Allah bertanya: "Apakah mereka melihat surga?" Malaikat menjawab: "Tidak, wahai Tuhanku", Allah berfirman: "Bagaimana kalau mereka melihatnya?" Lalu Allah berfirman: "Mereka minta keselamatan dari apa?" Dan Allah Maha Mengetahui. Malaikat menjawab: "Dari neraka", Allah berfirman: "Apakah mereka melihat mereka?" Malaikat menjawab: "Tidak". Allah berfirman: "Bagaimana kalau mereka melihatnya?" Allah berfirman: "Saksikanlah bahwa Aku mengampuni mereka, Aku memberikan permintaan mereka dan Aku kabulkan permintaan keselamatan mereka", Malaikat berkata: "Wahai Tuhanku, di sana ada seorang hamba yang banyak berbuat salah dan dia bukan kelompok mereka". Allah berfirman: "Aku ampuni dia, mereka adalah kaum yang tak terpengaruh keburukan orang lain". (HR. Muslim dan Hakim, redaksi hadits ini adalah dari riwayat Al-Hakim).
(HR. Muslim Nomor 7015 dan Hakim Nomor 1821, ia berkata hadits ini shahih dari jalur Muslim)
Ternyata bacaan Al-Qur'an dan tahlil atau bentuk hadiah pahala haji, shodaqoh semuanya sampai pada si mayit, jangankan bacaan Al-Qur'an dan Tahlil, pelepah kurma saja ditancapkan bisa meringankan pada si mayit. Lihatlah Shahihul Bukhari (209).
Lalu alasan apalagi masih mau mengatakan bid'ah?. Tuhan berfirman: "Dan tidak pantas bagi orang mukmin laki-laki dan perempuan apabila sudah diputus suatu hukum oleh Allah dan Rasul-Nya akan memilih yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa durhaka kepada Allah dan RasulNya maka sesatlah dia suatu kesesatan yang nyata" (QS. Al-Ahzab" 36).
والله أعلم بالصواب
Tidak ada komentar:
Posting Komentar