1. Mendo’a Dengan Bertawassul Syirik
Ulama-ulama Wahabi selalu memfatwakan bahwa mendo’a dengan tawassul adalah syirik/haram. Hal ini tidak heran karena paham Wahabi itu adalah penerus yang fanatik dari fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah.
Pendirian kaum ahlussunnah wal Jama’ah dalam soal “tawassul” sudah dibentangkan dalam pasal yang terdahulu yang membicarakan fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah. Pada pasal itu telah kami kemukakan dalil-dalil al-Qur’an dan hadis-hadis yang bertalian dengan tawassul itu. Bacalah kembali.
2. Istighatsah Syirik
Tersebut dalam kitab karangan ulama Wahabi, berjudul “At Hidayatus Saniyah wat Tuhfatul Wahabiyah”, pada pagina 66 yaitu:
“Barangsiapa menjadikan Malaikat, Nabi-nabi, Ibnu Abbas, Ibnu Abi Thalib atau Mahjub perantara antara mereka dengan Allah, karena mereka dekat kepada Allah, seperti yang banyak diperbuat orang di hadapan raja-raja, maka orang itu kafir, musyrik, halal darahnya dan hartanya, walaupun ia mengucapkan uda kalimah syahadat, walaupun ia sembahyang, puasa dan menda’wahkan dirinya muslim”.
Terang menurut buku Wahabi ini bahwa kaum Wahabi mengafirkan sekalian orang Islam yang sudah membaca syahadat kalau orang Islam itu menjadikan Malaikat, Nabi-nabi, Ibnu Abbas, Ibnu Abi Thalib (maksudnya Saiyidina Ali Kw.) atau Mahjub menjadi perantara mereka dengan Allah.
Arti “menjadi perantara” yang dilarang itu – menurut paham Wahabi ialah ber-istighatsah dengan mereka.
Tegasnya: “Siapa yang ber-istighatsah menjadi syirik”.
Apa yang dimaksud dengan istighatsah?
Contohnya ialah: seorang Muslim datang menziarahi kuburan (makam) Nabi di Madinah, lantas di situ ia berkata menghadapkan pembicaraan kepada Nabi: “Hai Rasulullah hai habiballah, hai penghulu kami Muhammad Nabi akhir zaman, berilah kami syafa’at engkau di akhirat, mintakanlah kepada Tuhan supaya kami ini selamat dunia- akhirat”.
Inilah ucapan orang yang beristighatsah.
Cara ini syirik menurut kaum Wahabi, karena terdapat beberapa unsur kemusyrikan, yaitu:
a. Memanggil dan menghadapkan pembicaraan kepada orang yang telah mati, sedang orang itu sudah menjadi bangkai.
b. Meminta atau memohon pertolongan kepada orang mati, kepada makhluk, sedang yang boleh dijadikan tempat memohon pertolongan itu hanyalah Allah saja.
c. Menjadikan Nabi ini sebagai perantara antara ia dengan Allah, padahal setiap orang Islam boleh mendo’a langsung saja kepada Tuhan, sedangkan Tuhan itu dekat kepada sekalian hamba-Nya.
Inilah unsur-unsur kemusyrikan dalam istighatsah itu dan karenanya orang itu menjadi musyrik kalau mengerjakan ini.
Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah yang beri’tiqad sebagai i’tiqad Nabi Muhammad SAW. yang dikepalai oleh Imam Abu Hassan al-Asy’ari tidak sepaham dengan Wahabi dalam soal ini.
Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat:
a. Memanggil dan menghadapkan pembicaraan kepada orang yang telah mati boleh saja, tidak terlarang, dan bahkan dikerjakan oleh Nabi dan sahabat sebelumnya, juga oleh ummat Islam di seluruh dunia.
b. Nabi Muhammad SAW. walaupun beliau sudah mati, tetapi beliau hidup dalam kubur dan mendengar sekalian salam orang dan sekalian permintaan orang sebagai keadaannya sewaktu belum hidup di dunia.
c. Minta tolong kepada makhluk, kepada lain Allah, kepada Nabi dan kepada manusia boleh saja, tidak terlarang dalam agama.
Inilah perbedaan paham yang prinsipil antara Ahlussunnah wal Jama’ah dengan Wahabiyah.
Paham Ahlussunnah wal Jama’ah ini berdasarkan dalili-dalil, di antaranya kami kemukakan sebagai di bawah ini:
PERTAMA
Tersebut dalam Kitab Hadits:
Artinya: “Dari Anas Rda. beliau berkata: Pada suatu malam kaum Muslimin mendengar Rasulullah menyeru dekat telaga Badar: Hai Abu Jahil bin Hisyam, hai Syaibah bin Rabiah, hai Umaiyah bin Khalaf! Adakah kamu menerima ganjaran siksa yang telah dijanjikan Tuhan kepadamu sekalian? Saya sudah menerima apa yang dijanjikan Tuhan kepada saya. Sahabat-sahabat ketika itu bertanya kepada Nabi: “Kenapakah tuan memanggil orang-orang yang sudah menjadi bangkai? Maka Nabi menjawab: Mereka mendengar apa yang aku ucapkan melebihi dari pendengaran kamu, tetapi mereka tak kuasa menjawabnya” (HR. Nisai – Sunan Nisai, juz 4, hal. 110).
Terang dalam hadits ini bahwa Nabi pernah dan ada memanggil orang-orang yang sudah mati, yang sudah menjadi mayat.
Hadis ini dengan panjang lebar diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari (lihat Sahih Bukhari pada Kitab al-Magazi dan Fathul Bari juz VIII hal. 302 s.d 305).
Kejadian yang diterangkan hadis ini ialah sesudah peperangan Badar, di mana banyak orang-orang kafir Quraisy yang mati bergelimpangan mayatnya dalam kali Badar yang di antara namanya dipanggil oleh Nabi itu.
Tak berapa lama sesudah peperangan Badar, Nabi Muhammad SAW. bersama sahabat beliau datang ke kali itu dan mengucapkan perkataan yang tersebut di atas.
Apa yang dapat dipetik dari hadis ini:
a. Nabi ada memanggil dan menghadapkan pembicaraan kepada orang-orang yang telah mati.
b. Orang-orang yang telah mati itu, walaupun ia sudah mati dan dikuburkan, mereka dihidupkan kembali dengan secara hidup dalam alam barzakh, sehingga mereka mendengar kembali seruan orang hidup yang menyerunya.
c. Menyeru orang mati tidak terlarang. Sedangkan orang kafir yang sudah mati saja boleh dipanggil, apalagi Nabi-nabi dan ulama-ulama.
KEDUA
Tersebut dalam Hadits Bukhari (lihat Fathul Bari juz 3 hal. 449), yaitu:
Artinya: “Dari Anas bin Malik, dari Nabi Muhammad Saw. beliau berkata: “Hamba-hamba Tuhan apabila diletakkan dalam kuburnya dan orang-orang pengantarnya sudah mulai kembali pulang, maka mayat itu mendengar detak-detik sandal mereka” (HR. Bukhari – Shahih Bukhari - , juz 1, hal. 169).
Tak berapa lama sesudah peperangan Badar, Nabi Muhammad SAW. bersama sahabat beliau datang ke kali itu dan mengucapkan perkataan yang tersebut di atas.
KETIGA
Tersebut dalam Hadits Muslim bahwa Nabi Muhammad SAW. mengajarkan kepada ummatnya apabila mereka menziarahi kubur supaya membaca salam:
Artinya: “Salam atasmu hai penduduk kampung ini Mu’minin dan Muslimin, dan kami insya Allah akan mengikuti kamu, kami memohon ‘afiyat untuk kami dan untuk kamu” (Hadits riwayat Imam Muslim Juz VII halaman 45).
Jelas dalam hadits ini, bahwa dalam hukum syari’at Islam boleh menghadapkan pembicaraan kepada orang yang telah mati, seolah-olah kita bercakap-cakap dengan orang yang masih hidup.
Dalam hadits ini ada kalimat “salam untukmu”, “kami akan mengikuti kamu” dan “kami mohon ‘afiyat untuk kami dan untukmu”.
Nah, kalau ada paham yang mengharamkan menghadapkan pembicaraan kepada orang yang telah mati maka fatwa itu bertentangan dengan hadits ini.
KEEMPAT
Tersebut dalam Hadits Bukhari:
Artinya: “Maka apabila seorang dari kamu sembahyang maka hendaklah baca: Tahiyat itu untuk Allah juga sembahyang dan sekalian ucapan yang baik. Salam atasmu hai Nabi (Muhammad SAW.) dan rahmat Tuhan dan berkahNya”
(H. riwayat Bukhari – Fathut Bari Syarah Bukhari Juz II hal. 456 – 458).
(H. riwayat Bukhari – Fathut Bari Syarah Bukhari Juz II hal. 456 – 458).
KELIMA
Tersebut dalam Hadits:
Artinya: “Adalah Nabi Muhammad SAW. apabila selesai menguburkan mayat, beliau berhenti sejenak dan berkata kepada sahabat-sahabat beliau: “minta ampunkanlah saudaramu karena ia sekarang sedang ditanya” (H. Riwayat Abu Daud – Sunan Abi Daud Juz III hal. 215).
Terang dalam hadits ini bahwa orang mati itu dihidupkan dalam kuburnya dan ditanya tentang ini dan itu.
Dari dalil-dalil yang 5 ini dapat diambil kesimpulan:
a. Memanggil dan menghadapkan pembicaraan kepada orang mati boleh saja. Boleh kita ucapkan: Ya Rasulllah! di hadapan makam Nabi di Madinah atau di tempat lain.
b. Orang yang sudah mati dikembalikan alat pendengar dan alat perasa oleh Tuhan kepada mereka, sehingga mereka mendengar ucapan kita dan mendengar detak-detik sandal kita di atas pekuburan mereka.
Dan, khusus bagi Nabi-nabi, kaum Ahlussunnah wal Jama’ah mempercayai bahwa beliau-beliau hidup dalam kubur, mendengar salam dan mendengar ucapan yang diucapkan kepada beliau.
KE-ENAM
Tersebut dalam Hadits:
Artinya: “Dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi Muhammad SAW berkata: Nabi-nabi itu hidup dalam kubur mereka dan mereka sembahyang” (H. Riwayat Imam Baihaqi – Zarqani - Juz V hal. 332).
Nah, Nabi-nabi hidup dalam kubur.
KETUJUH
Tersebut dalam, Zarqani juga:
Artinya: “Bahwasanya Nabi Muhammad Saw. berkata: Pada malam Isra’ saya melalui Nabi Musa di Katib Ahmar, beliau berdiri sembahyang di kuburnya” (Hadis ini dirawikan oleh Imam Ahmad, Nisai dan Muslim. Syarah Muslim Juz XVI hal. 133)
Menurut hadis ini Nabi-nabi hidup dalam kuburnya masing-masing dan mengerjakan sembahyang.
Dan khusus bagi Nabi kita, Nabi Muhammad Saw. beliau berkata tentang diri beliau.
KEDELAPAN
Tersebut dalam kitab hadis:
Artinya: “Dari Abu Hurairah beliau berkata: Berkata Rasulullah Saw. “Pada setiap orang Islam memberi salam pada saya niscaya Tuhan mengembalikan kepada saya ruh saya, sehingga aku menjawab salamnya” (Hadis riwayat Imam Abu Dawud - Sahih Abu Dawud - juz 2, hal. 218).
KESEMBILAN
Tersebut dalam kitab Hadis Bukhari suatu hadis yang panjang menyatakan keadaan orang-orang di padang mahsyar, di mana mereka berbondong-bondong ber-istighatsah, minta bantuan kepada Nabi-nabi untuk mohon supaya Nabi-nabi memintakan kepada Allah, agar lekas diadakan hari ber-hisab.
Pangkal hadis ini berbunyi:
Artinya: “Berkata Rasulullah Saw. Tuhan menghimpunkan manusia pada hari qiyamat, maka manusia itu berkata sesama mereka: kiranya kita minta syafa’at, minta bantuan untuk menyampaikan permohonan kita kepada Tuhan supaya kita mendapat kesenangan, maka mereka datang kepada Nabi Adam...... dan lain-lain” (Hadis riwayat Imam Bukhari - Shahih Bukhari - Juz 4 hal. 98)
Di dalam hadis ini dinyatakan dengan terang bahwa orang-orang di akhirat ber-istighatsah (minta bantuan) kepada Nabi-nabi, kepada Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan akhirnya kepada Nabi Muhammad Saw.
KESEPULUH
Dalam soal minta pertolongan kepada selain Allah, kaum Ahlussunnah wal Jama’ah beri’tiqad bahwa hal itu tidak apa-apa kalau kita mengi’tiqadkan bahwa yang menolong pada hakikatnya adalah Allah dan manusia tempat minta tolong itu hanya sekedar pada lahir saja.
Kita boleh minta tolong kepada sembahyang dan kepada sabar, apalagi kepada Nabi Muhammad Saw.
Artinya: “Dan mintalah pertolongan dengan sabar dan sembahyang” (QS. Al-Baqarah: 45). Sabar dan sembahyang itu bukan Tuhan.
Artinya: “Dan bertolong-tolonganlah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa” (QS. Al-Maidah: 3)
Sultan Iskandar Zulqarnaini yang dipuji oleh Tuhan dalam Al-Qur’an pernah miinta tolong kepada manusia, Tuhan menyatakan hal ini dalam firman-Nya:
Artinya: “Apa yang ditetapkan oleh Tuhan buatku lebih baik (dari pemberianmu), sebab itu tolonglah saya dengan (pekerja-pekerja) yang kuat” (QS. Al-Kahfi: 95)
Sesudah menguraikan dalil-dalil yang di atas diambil kesimpulan tentang istighatsah dengan Nabi sebagai berikut:
1. Boleh menghadapkan pembicaraan dan seruan kepada orang yang telah mati, umpama dikatakan: Ya, Rasulallah!
2. Boleh meminta pertolongan kepada Rasulullah yang sudah mati, karena beliau itu hidup dalam kuburnya, sembahyang dan mendoa.
3. Boleh minta pertolongan kepada makhluk kalau dibutuhkan pertolongan itu.
4. Yang syirik dan kafir hanyalah menyembah makhluk atau meng-i’tiqadkan bahwa makhluk itu Tuhan yang disembah atau manusia yang berkuasa menciptakan sesuatu seperti Allah.
Inilah i’tiqad kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, ini bertentangan dengan i’tiqad Ibnu Taimiyah dan Wahabi yang berpendapat bahwa minta tolonga kepada selain Allah adalah syirik dan beristighatsah, yakni minta kepada Nabi yang sudah mati adalah syirik.
Berbeda 180 derajat !
Barang siapa yang hendak memperdalam soal istighatsah ini lebih lanjut baca dan perhatikanlah kitab-kitab yang di bawah ini:
1. Kitab “Syawahidul Haq” karangan ‘allamah Syeikh Yusuf bin Isma’il an-Nabhani.
2. Kitab “as-Shawa’iqul Ilahiyah firaddi ala Wahabiyah”, karangan Syeikh Sulaiman bin Abdul Wahab, saudara kandung Muhammad bin Abdil Wahab.
3. Gautsul Ibad bin Bayanirrasyad, karangan Syekh Mustafa Abu Seif al-Hamami.
4. Ad-Durarus Saniyah firraddi alal Wahabiyah, karangan Mufti Syafi’i di Makkah Sayid Ahmad Zaini Dahlan.
5. Dan lain-lain, dan lain-lain, banyak lagi.
Tauhid itu dua macam kata mereka, yaitu:
1. Tauhid Rububiyah, yaitu tauhidnya orang kafir, tauhidnya orang musyrik yang menyembah berhala, atau dengan kata lain “Tauhidnya orang syirik”.
2. Tauhid Uluhiyah, yaitu tauhidnya orang mu’min, tauhidnya orang Islam, serupa iman dan Islamnya kaum Wahabi.
Mereka mengatakan, bahwa dalam Qur’an tersebut adalah:
Artinya: “Katakanlah (Hai Muhammad): Kepunyaan siapakah langit dan bumi dan semua isinya kalau kamu mengetahui? Mereka akan menjawab: Kepunyaan Allah. Katakanlah lagi kepada mereka: Mengapa kamu tidak mengambil pengertian?” (QS. Al-Mukminun: 84 - 85)
Nah, dengan ayat ini kaum Wahabi mengatakan bahwa orang-orang kafir yang menyembah berhala percaya juga kepada adanya Tuhan, tetapi imannya tidak sah, karena mereka menyembah berhala di samping pengakuannya kepada adanya Tuhan.
Dalil yang lain yang biasa dimajukan mereka:
Artinya: “Dan kalau engkau bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menjadikan matahari dan bulan, mereka akan menjawab Allah. Maka bagaimana kamu berputar dari kebenaran?” (QS. Al-Ankabut: 61)
Ini lagi kata kaum Wahabi, orang kafir mengakui adanya Allah, tetapi mereka menyembah selain Allah.
Jadi kesimpulannya – kata mereka – ada orang yang mengakui ada Tuhan, tetapi menyembah selain Tuhan. Ini namanya Tauhid Rububiyah, yaitu tauhidnya orang yang mempersekutukan Tuhan.
Adapun tauhid Uluhiyah – menurut mereka – ialah tauhid sebenar-benarnya, yaitu meng-Esakan Tuhan, sehingga tidak ada yang disembah selain Tuhan. Inilah tauhidnya orang mukmin sejati, kata mereka.
Demikian pengajian kaum Wahabi.
Pengajian macam ini tak pernah ada sedari dulu, tidak pernah disebut oleh kaum Ahlussunnah, begitu juga oleh kaum Mu’tazilah dan Syi’ah.
Pengajian macam ini khusus bagi kaum Wahabi.
Heran kita melihat falsafahnya. Orang kafir yang mempersekutukan Tuhan dinamainya kaum tauhid. Adakah sahabat-sahabat Nabi sedari dulu menamai orang musyrik dengan ummat tauhid? Tidak ada!
Syirik dan tauhid tidak bisa bersatu. Hal itu dua yang berlawanan. Bisakah bersatu siang dengan malam, bisakah bersatu dua yang bertentangan?
Kaum Wahabi menciptakan pengajian baru ini ialah dengan maksud menggolongkan orang-orang yang datang menziarahi makam Nabi ke Madinah, orang-orang yang mendo’a dengan tawassul, orang yang minta syafa’at Nabi serupa dengan orang kafir yang bertauhid “rububiyah” itu.
Keterlaluan paham Wahabi ini.
Orang-orang yang datang ziarah ke Madinah itu bukanlah menyembah Nabi, tidak, tetapi pada hakikatnya hanya menghormati Nabi, memuliakan Nabi, apakah tidak boleh menurut hukum syari’at Islam menghormati atau memuliakan Nabi, walaupun beliau sudah meninggal?
Orang-orang yang ziarah ke makam Nabi bukanlah menyembah kepada Nabi, bukan berlutut kepada Nabi, hanyalah semata-mata ziarah ke makam Nabi, yaitu Nabi yang membawa panji-panji Tauhid yang membebaskan manusia dan syirik.
---ooo0ooo---
والله اعلم بالصواب
Tidak ada komentar:
Posting Komentar