Ada orang-orang nyeleneh yang
bilang, tidak perlu repot- repot
mengadakan kenduri, yasinan, dan perbuatan lainnya yang tidak ada tuntunannya dari Rosululloh shollallohu’alaihi wa
sallam. Bahkan apabila dikaitkan
dengan waktu malam Jum’at, maka ada larangan khusus dari Rosululloh shollalohu’alaihi wa sallam yakni seperti yang termaktub dalam sabdanya, “Dari Abu
Hurairah, dari Nabi
shollallohu ‘alaihi wa sallam: Janganlah kamu khususkan malam Jum’at untuk melakukan ibadah yang tidak dilakukan pada
malam-malam yang lain.”
(HR. Muslim). Terjemah hadist tersebut adalah rujukan yang di gunakan untuk
melarang amalan yasinan khusus malam Jum'at oleh orang-orang tertentu.
Setelah di lakukan penelitian,
ternyata ada penyelewengan matan redaksi hadis, karena tidak ada terjemah matan
hadist seperti di atas. Yang ada adalah hadis dengan kandungan matan berikut: Hadist
Riwayat Imam Muslim yang artinya: "jangan kamu khususkan pada malam jum'at itu dengan (ibadah) shalat malam yang tidak (di
kerjakan) pada malam
lainnya, dan jangan kamu khususkan pada hari jum'at itu dengan (ibadah) puasa yang tidak (dikerjakan)
pada hari lain nya, kecuali jika bertepatan puasa yang telah di kerjakannya "Sepertinya,
hadist itu ada
kesamaan/ kemiripan, padahal itu sangat beda jauh kandungan matannya. Entah situs-situs ataupun
blog-blog yang menuliskannya itu memang sengaja menyelewengkan terjemah hadist, atau memang ada latar belakang lain,
Sehingga natijah/kesimpulannya semua macam ibadah, itu haram jika di khususkan hari jum'at, karena merupakan dalil a'am.
Sedangkan, terjemah hadist kedua
yang benar. Kandungan
hukum matannya itu ternyata, yang dilarang hanya sholat lail khusus malam
jum'at, dan puasa khusus hari jum'at, dimana merupakan suatu dalil khos. Jadi
perlu di ketahui, tidak ada larangan ibadah khusus hari malam jumat kecuali
sholat lail khusus malam jumat dan puasa khusus hari jumat.
Oleh karena itu, apabila kita
berpuasa sunnah di hari jumat,
dianjurkan untuk menambahinya di hari berikutnya atau pada hari sebelumnya. Sedangkan yasinan, barzanji, diba',
maulid, simtudh duhror,
maupun pengajian yang dilakukan khusus di malam jum'at tidak ada larangannya karena bunyi hadistnya adalah semacam itu. Maka
menambah larangan
yang tidak dilarang merupakan suatu perbuatan tercela yang menghalangi orang untuk mencari ilmu dan beribadah kepada
Allah SWT.
Dari hal ini kita mendapat pelajaran banyak yang memanipulasi
matan hadist. Jadi salah terjemah sedikit saja, sudah merubah kandungan matan yang seharusnya menjadi dalil khos
diselewengkan menjadi
dalil a'am. Ini merupakan manipulasi terjemahan hadis di depan umum yang
dibuat-buat untuk membid'ahkan dan menghalangi orang yang ingin mencari ilmu
dan melakukan kegiatan mulia.
Bagaimana jika surat Yasiin
dibacakan untuk orang yang telah wafat. Diantara dalil membaca Surat Yasin
untuk orang yang meninggal, adalah hadits Nabi SAW berikut ini:
“Bacalah yasin kepada orang-orang
mati diantara kalian” {HR. Abu Dawud jilid 8/385}, hadist ini disahkan oleh
Ibnu Hibban. Pendapat Abu Hatim dan sebagian ulama’ lainnya “sunnah dibacakan
Yasin, ketika menjelang kematian (sakarotul maut) karena Surat Yasin menceritakan
kiamat, tauhid dan kisah-kisah umat terdahulu”. Namun menurut Ibn Rif’ah,
dianjurkan membacanya
setelah meninggal. Oleh karena itu lebih utama menggabung keduanya yaitu membacanya di waktu sakarotul maut
dan setelah meninggal
(Faidul Qodir juz 2 hal. 86).
Sebagian pendapat hadist ini do’if (bukan
palsu), tetapi tetap bisa diamalkan karena didukung oleh hadist lain yang kuat
tentang sampainya pahala bacaan kepada mayyit.
Wasiat Ibn Umar dalam kitab Syarh Aqidah Thahawiyah hal : 458 “diriwayatkan Ibn Umar RA berwasiat agar dibacakan awal surat Al-Baqarah dan akhirnya di atas kuburnya seusai pemakaman. Demikian juga dinukil dari sebagian shahabat Muhajirin adanya pembacaan surat Al-Baqarah”. Hadist ini menjadi dasar pendapat Muhammad bin Hasan dan Ahmad bin Hambal padahal Imam Ahmad sebelumnya pernah mengingkari sampainya pahala dari orang yang hidup kepada orang yang sudah mati. Namun setelah beliau mendengar dari orang-orang yang terpercaya tentang wasiat ibnu Umar, Beliaupun mencabut pengingkarannya (Mukhtasar Tazkirah Qurtubi hal. 25).
Wasiat Ibn Umar dalam kitab Syarh Aqidah Thahawiyah hal : 458 “diriwayatkan Ibn Umar RA berwasiat agar dibacakan awal surat Al-Baqarah dan akhirnya di atas kuburnya seusai pemakaman. Demikian juga dinukil dari sebagian shahabat Muhajirin adanya pembacaan surat Al-Baqarah”. Hadist ini menjadi dasar pendapat Muhammad bin Hasan dan Ahmad bin Hambal padahal Imam Ahmad sebelumnya pernah mengingkari sampainya pahala dari orang yang hidup kepada orang yang sudah mati. Namun setelah beliau mendengar dari orang-orang yang terpercaya tentang wasiat ibnu Umar, Beliaupun mencabut pengingkarannya (Mukhtasar Tazkirah Qurtubi hal. 25).
Disebutkan imam Ahmad bin Hambal
berkata, ”sampai kepada mayyit [pahala] setiap kebaikan karena adanya
nash–nash yang menerangkannya dan juga kaum muslimin berkumpul di setiap negeri
untuk membaca alquran dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka yang sudah
meninggal. Hal ini terjadi tanpa ada yang mengingkari, maka jadilah ijma’
(Yas’aluunaka fid din wal hayat oleh Dr. Ahmad Syarbasi jilid III/423)
Hadis dalam Sunan Baihaqi dengan
isnad hasan, mengatakan “sesungguhnya Ibnu Umar menganjurkan untuk dibacakan
awal surat al-Baqoroh dan akhirnya diatas kuburan seusai pemakaman” Hadist ini
mirip dengan wasiat Ibn Umar, bahkan di sini dinyatakan dianjurkan. Hadist
riwayat Imam Daruquthni
juga menyebutkan, “barang
siapa masuk ke pekuburan lalu membaca surat Al-Ikhlas 11 kali kemudian menghadiahkan pahalanya kepada para mayit
(dikuburan itu) maka ia diberi
pahala sebanyak orang yang mati di tempat itu “Kemudian, Hadist marfu’ Riwayat Hafiz as-Salafijuga menyebutkan, "Barang siapa melewati
pekuburan lalu membaca surat
Al-Ikhlas 11 kali kemudian menghadiahkan pahalanya kepada para mayit (dikuburan itu) maka ia akan diberi pahala sebanyak orang
yang mati disitu “
(mukhtasar Al-Qurtubi hal. 26)
Syaikh Muhammad Makhluf, (mantan
mufti mesir) berkata,
“Tokoh-tokoh madzhab Hanafi berpendapat setiap orang melakukan ibadah baik sedekah atau bacaan al Qur’an atau
lainnya dari macam-macam
kebaikan, dapat dihadiahkan pahalanya kepada orang lain dan pahala itu akan sampai kepadanya”. Syaik Ali Ma’sum
berkata, “dalam madzhab Maliki tidak ada khilaf akan sampainya pahala sedekah kepada mayyit. Namun ada khilaf pada
bacaan al Qur’an untuk mayyit.
Menurut dasar Madzhab hukumnya
makruh. Para ulama’-ulama’ muta’akhirin berpendapat boleh melakukannya dan menjadi
dasar untuk diamalkan. Dengan demikian maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayyit. Ibn Farhun menukil bahwa
pendapat akhir inilah yang
rojih dan kuat” [Hujjatu ahlis sunnah Wal jama’ah hal.15].
Dalam kitab Al-Majmu’ jilid 15/522 :
“berkata Ibn Nahwi dalam syarah minhaj : dalam madzhb Syafi’i menurut qaul yang
mashur, pahala bacaan tidak sampai, tapi menurut qaul yang muhtar, sampai apabila
di mohonkan kepada Allah agar disampaikan bacaan tersebut”
Imam Ibn Qoyyim al- Jauziyyah berkata “yang paling utama dihadiahkan kepada
mayit adalah sedekah, istighfar, do’a untuknya dan haji atas namanya. Adapun
bacaan al-Qur’an serta menghadiahkan
pahalanya kepada mayit dengan cara sukarela tanpa imbalan, akan sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji sampai kepadanya.” [Yas’alunaka fid
din wal-hayat jilid I/442]
Ibnu Taymiyyah pernah ditanya
tentang bacaan Al-Qur’an untuk mayyit juga tasbih, tahlil, dan takbir jika dihadiahkan kepada mayyit,
apakah sampai pahalanya
atau tidak? Beliau menjawab sebagaimana tersebut dalam kitab beliau Majmu’ Fatawa jilid 24 hal. 324, “sampai
kepada mayyit bacaan
Al-Qur’an dari keluarganya demikian tasbih, takbir serta seluruh dzikir mereka apabila mereka menghadiahkan pahalanya
kepada mayyit akan sampai
pula kepadanya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar