Rabu, 08 Januari 2014

ISTIMBATUL HUKMI DALAM ILMU FIQIH.BID’AHKAH QIYAS ITU ?

Di dalam menentukan hukum fiqih, madzhab “Ahlussunnah wal Jama’ah “ bersumber kepada 4 sumber pokok, yaitu, al-Qur’an, al-Hadist, Ijma' dan Qiyas, secara singkat berikut ini:

Al-Qur'an 

Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena, Al-Qur’an adalah perkataan Allah swt. dan merupakan petunjuk kepada umat manusia dan diwajibkan untuk berpegang kepada-Nya. Tuhan berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat  2  al-Maidah ayat 44-45,47 :

ذالك الكتاب لاريب فيه هدى للمتقين                          

"Kitab ( Al-Qur’an ) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Al-Baqarah: 2 )

ومن لم يحكم بماأنزل الله فأولئك هم الكافرون                     

“ Dan barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang kafir “. Maka ayat yang disebut terakhir ini merujuk kepada persoalan-persoalan yang bersangkutan dengan aqidah. Ada pula ayat Al-Qur’an yang berbunyi :

ومن لم يحكم بما انزل الله فأولئك هم الظالمون                      

“Dan barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang tidak diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang dzalim. (Al-Ma’idah: 45). Ayat ini menyangkut urusan yang berkenaan hak-hak sesama manusia.

ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الفا سقون                             

“Dan barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang fasik”. (Al-Ma’idah : 47). Ayat ini berkenaan dengan ibadah dan larangan-larangan Allah.

Al-Hadis

Sumber kedua dalam menentukan hukum, ialah Sunnah Rasulullah saw. Karena Rasulullah saw. yang berhak dan menjelaskan, dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 44 dan Al-Hasyr ayat 7, sebagai berikut :

وانزلنااليك الذكر لتبين للناس ما نزل اليهم ولعلهم يتفكرون              

“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan“.
( An-Nahl : 47).

وماأتاكم الرسول فخذواه ومانهاكم عنه فانتهواواتقواالله إن الله شد يد العقاب          

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya“. (Al-Hasyr: 7). Kedua ayat di atas, menjelaskan bahwa Hadis atau Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an dalam penentuan suata hukum.

Al-Ijma’

Ijma' adalah kesepakatan para Ulama' atas suatu hukum setelah wafatnya Muhammad saw. karena, masa hidupnya Nabi Muhammad saw. seluruh persoalan hukum kembAli kepada beliau. Setelah wafatnya Nabi, maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.
Ijma’ ada dua macam. 
  1. Ijma' Bayan ( الإجماءالبيانى  ), ialah apabila semua mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukkan kesepakatannya.
  2. Ijma' Sukuti ( الاجماءاالسكوتى  ), ialah apabila sebagian mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain diam sedangkan diamnya menunjukkan setuju, bukan karena takut atau malu.Karena Ulama', mujtahid itu termasuk orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung  oleh Al-Qur’an dan Al-Hadis, dan merekalah yang disebut “Ulil Amri Minkum “. Sebagaimana firman Allah swt.

ياأيهاالذين أمنواأطيعواالله وأطيعواالرسول وأولى الامر منكم                 

“Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu“ (An-Nisa’: 59).

Para sahabat pernah melakukan ijma’ yaitu ketika terjadi suatu masalah yang tidak ada dalam Al-Qur’an Al-Hadis. Pada zaman sahabat Abu Bakar dan Umar ra. Jika mereka sudah sepakat, maka wajib diikuti seluruh umat Islam. Inilah beberapa hadis yang memperkuat Ijma’ sebagai sumber hukum :

ان الله لا يجمع امتي على ضلا له , ويدالله مع الجماعه              

“ Sesunguhnya Allah tidak menghinpun ummatku atas kesesatan dan perlindungan Allah beserta orang-orang banyak.” (Sunan Tirmidzi 4 halaman 466). Juga terdapat dalam kitab kitab Fa’idul Qodir :

ان امتى لا تجتمع على ضلا لة فاذا رأيتم اختلافا فعليكم باالسواءالأعظم.         

“ Sesungggunya umatku tidak berkumpul atas kesesatan. Apabila engkau melihat perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak kepada golongan yang banyak “.( Fa’idul Qodir juz 3 halaman 431).

Al-Qiyas

Menurut bahasa, Qiyas berarti mengukur, ( قاس ). Adapun secara istilah, Qiyas ialah menyamakan dalam hukum karena sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam, yaitu, al-Ashlu, al-Far’u, al-Hukmu dan As-sabab.

Contoh, penggunaan Qiyas misalnya pada hukum “GANDUM” seperti disebutkan dalam suatu hadis, sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah “BERAS“ tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadist), al-Hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya, as-Sebab atau alasan hukumnya,karena makanan pokok. Dengan demikian, hasil gandum itu  wajib dikeluarkan zakatnya,sesuai dengan hadis Nabi, dan begitupun dengan beres, wajib dikeluarkan zakatnya, meskipun dalam hadis tidak dicantumkan nash beras itu. Karena beras dan gandum sama-sama makanan pokok. Di sinilah aspek Qiyas menjadi sumber hukum dalam syariat islam, dalam Al-Qur’an disebutkan:
فاعتبرواياأولى الأبصار                                 

“ Ambillah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (Al-Hasyr: 2). Dan juga terdapat dalam hadis Nabi, ketika mengutus sahabat Mu'adz:

فان لم تجد فى سنة رسول الله ولافى كتاب الله ؟                    


 “Apabila tidak dijumpai dalam sunnatulloh (Al-Hadist) dan dalam kitabullah (Al-Qur’an)? Mu'adz menjawab, ”Saya akan berijtihad dengan pendapatku dan tidak akan bimbang sedikitpun".                                                                                                             

 “Melihat jawaban Mu'adz tadi, betapa girangnya Rasulullah saw. seraya berdoa “ Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah saw. sehingga sesuai apa yang dikehendaki Rasul-Nya. Jelas menurut hadis ini walau tidak terdapat dalam Al-Qur’an Hadis pendapat Mu’adz tadi, Rasul tidak langsung menuduh bid’ah, atau kata-kata sesat, asal tidak menentang dalil yang maktsur.

Kemudian Al-Imam Syafi’i memperkuat pula tentang Qiyas ini, dengan firman Allah swt.

يا أيهاالذين أمنوا لا تقتلواالصيد وأنتم حرم ومن قتله متعمدا فجزاء مثل ماقتل من النعم يحكم به ذوى عدل منكم.                                  

“ Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang Ihrom, barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan 2 orang yang adil di antara kamu.” (Al-Maidah: 95) 

Penganut madzhab “Ahlus Sunnah wal Jama’ah“ lebih mendahulukan dalil Al-Qur’an Al-Hadis, dari pada akal, karena itu, maszhab “Ahlus Sunnah wal Jamaah“ mempergunakan Ijmak dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang sharih (jelas)  dari Al-Qur’an dan Al-Hadis.” Dari penjelasan ini, ternyata tanpa kecuali dan tanpa disadari kita telah berbuat yang namanya “Bid’ah Hasanah“. Cuma tidak disadari karena kurangnya pemahaman terhadap hukum Islam. Seandainya memahami tentang hukum Islam, tidak akan mudah untuk mengatakan itu bid’ah itu sesat dan itu syirik, dan mengambil dalil yang sesuai dengan nafsunya saja. Akibat tidak mau menyadari keterbatasannya, cenderung memfitnah dan mengadu domba antar sesama muslim, dengan non muslim pun yang semula harmonis, bisa menjadi saling mencurigai, padahal sabda Rasul saw. selagi non muslim tidak menggangu dan memusuhi, haram untuk dimusuhi, bahkan musuhku kata Nabi, apalagi sasarannya tidak jelas, masjid pun dihancurkan, kalau tidak merampok. Itukah islam yang baik dan rahmatan lil ’alamin????????? Hentikanlah !!!!!!!!!!!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar