Ada orang yang berpendapat, bahwa arti
“lamasa” dalam surat an-Nisa’ ayat ke 43 itu adalah “bersetubuh”, sehingga
mereka memfatwakan, bahwa bersentuh antara pria dan wanita tidak membatalkan
wudhu’: yang membatalkan wudhu’ hanya bersetubuh, katanya. Mereka memajukan
juga beberapa dalil untuk memperkuat pendapatnya itu, yaitu:
Kesatu
Tersebut dalam kitab hadits begini:
Artinya:
“Dari Habib Ibnu Abi Tsabit, dari Urwah
dari Sitti ‘Aisyah Rda, bahwasanya Nabi Muhammad Saw. mencium sebagian
isterinya, kemudian beliau keluar pergi sembahyang dan beliau tidak berwudhu’
lebih dahulu” (H. Riwayat Imam Ahmad)
Jelas dalam hadis ini bahwa berciuman dengan isteri
tidak membatalkan wudhu’ kata orang itu.
Jawab
kita:
1. Hadis Habib
bin Abi Tsabit ini adalah hadis yang dha’if, tidak dapat dipakai untuk sumber hukum
apalagi untuk memutar arti ayat Al-Qur’an dalam Surat an-Nisa’ itu.
Yang
mengatakan bahasa hadis ini dha’if ialah ulama-ulama hadis seumpama Sofyan
Tsuri, Yahya bin Sa’id al-Qathan, Abu Bakar an-Nisaburi, Abu Hasan Daruquthni,
Abu Bakar al-Baihaqi dan lain-lain.
2. Berkata
Imam Ahmad bin Hanbal yang merawikan hadis ini dan berkata Abu Bakar
an-Nisaburi bahwa Habib Ibnu Tsabit yang merawikan hadis ini telah tersalah
dari “cium orang puasa” kepada “cium orang berwudhu’” (baca Kitab al-Majmu’,
Juz II, halaman 32).
3. Berkata
Imam Abu Daud: Diriwayatkan oleh Sofyan Tsuri, bahwa Habib Ibnu Abi Tsabit
hanya merawikan hadis dari Urwah al-Muzni bukan Urwah bin Zuber. Urwah al-Muzni
seorang tidak dikenal (majhul) bahwa hadis yang shahih dari Sitti ‘Aisyah
ialah, bahwa Nabi mencium isterinya ketika beliau berpuasa. (Al-Majmu’, Juz II
hal. 32).
4. Tersebut
dalam kitab Mizanul I’tidal, karangan ad-Zahabi, Urwah al-Muzni, guru Habib bin
Tsabit adalah seorang yang tidak dikenal (majhul), (baca Mizanul I’tidal, juz
III hal. 65).
Jadi hadis
Habib bin Tsabit yang diambil dari Urwah ini adalah hadis yang dha’if, yang
menurut usul fiqih tidak boleh dipakai untuk mengadakan hujah apalagi untuk
memutar arti dari nash Al-Qur’an, karena telah tersalah dari ciuman puasa
kepada ciuman berwudhu’.
Kedua
Ada orang memajukan dalil, katanya tersebut dalam kitab hadis:
Artinya:
“Dari Abu Rouq, diambilnya dari Ibrahim
at-Taimi, diambilnya dari Sitti ‘Aisyah Rda, beliau berkata: Bahwasanya Nabi
Muhammad Saw. adalah mencium (isterinya) sesudah berwudhu’, kemudian beliau
tidak mengulang wudhu’nya lagi.”
Jelas dalam hadis ini bahwa mencium isteri tidak
membatalkan wudhu’, kata mereka.
Jawab
kita:
1.
Abu Rouq yang
merawikan hadis ini adalah orang yang dha’if, beliau didha’ifkan oleh Ibnu
Mu’in (Al-Majmu’, juz II, hal. 33). Jadi hadisnya ini adalah hadis yang dha’if.
2.
Dalam hadis ini
dikatakan bahwa Ibrahim at-Taimi mengambil hadis dari Ummil Mu’minin Sitti
‘Aisyah. Ini adalah keliru, karena Ibrahim at-Taimi tak pernah berjumpa dengan
Sitti ‘Aisyah. Ia adalah seorang Tabi’ Tabi’in bukan Tabi’in.
Jadi
hadis ini adalah hadis “Mursal” sama derajatnya dengan hadis dha’if, karena ada
sanad yang hilang antara Ibrahim at-Taimi dan Sitti ‘Aisyah.
3.
Tersebut dalam
kitab Mizanul I’tidal, bahwa Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim bin al-Harits
at-Taimi, mengambil hadis dari bapaknya dan bapaknya itu mengambil dari Ibnu
Ubaidah.
Berkata Abu Hatim: Dia itu (maksudnya Ibrahim
at-Taimi) banyak mengeluarkan hadis yang munkar.
Berkata Imam Bukhari: Hadisnya tidak tsabit (tidak
tetap).
Berkata Imam Daruquthni: Ia dha’if. (Lihat Mizanul
I’tidal, juz I, hal. 55).
Kesimpulannya, bahwa hadis “Abu Rouq” ini adalah
hadis yang dha’if, sama nasibnya dengan hadis Ibrahim bin Tsabit tadi, tidak
boleh dibawa ke tengah untuk menegak hukum, apalagi untuk memutar arti ayat
al-Qur’an yang nash dan pasti.
Tersebut dalam kitab hadis begini:
Artinya:
“Dari Siti ‘Aisyah Rda. beliau berkata:
Adalah aku tidur di hadapan Rasulullah dan kakiku di pihak kiblat beliau.
Apabila beliau sujud ia tolak kakiku (dengan tangannya), maka saya tarik
kakiku, dan apabila beliau telah berdiri saya luruskan kembali” (HR. Imam
Bukhari, Fathul Bari Juz II hal. 135).
Dalam hadis ini dinyatakan bahwa Nabi menolak kaki
Siti ‘Aisyah sewaktu sembahyang. Ini suatu bukti bahwa bersentuh antara
laki-laki dan wanita tidak membatalkan wudhu’, kata mereka.
Jawab
kita:
Pada hadis ini ada “ihtimal”, yaitu “boleh jadi” di
dalamnya. Boleh jadi Nabi menolak kaki Ummulmu’minin di balik kain atau di
balik kaus kaki, karena kebiasaan wanita Arab memakai celana panjang kalau
tidur. Tidak ada dalam hadis ini bahwa antara tangan Nabi dan kulit Siti
‘Aisyah bersentuh, yang ada, bahwa beliau menolak kakinya.
Hadis yang mengandung “ihtimal” menurut usul fiqih
tidak dapat dijadikan hujah dalam hukum, apalagi untuk memutar arti ayat
al-Qur’an yang sudah pasti.
Serupa dengan uraian ini Imam Nawawi
berkata:
Artinya:
“Dan menurut fatwa jumhur ulama
(Ulama-ulama yang banyak dan kenamaan-kenamaan), bahwasanya bersentuh wanita
membinasakan wudhu’. Mereka meletakkan hadis ini, bahwa Nabi Muhammad Saw.
menyentuh Siti ‘Aisyah di balik kain, maka hadis ini menjadi tidak membuktikan
atas tidak batalnya wudhu’ apabila menyentuh kulit wanita” (Syarah Muslim, juz
IV, hal. 229 – 230).
Imam
Nawawi ini pensyarah hadis Muslim.
Atau dapat dikatakan seperti tadi, bahwa hadis ini
mengandung “ihtimal”, bukan nash yang terang.
Kaedah usul fiqih mengatakan:
Artinya:
“Dalil-dalil yang dihinggapi “ihtimal”
(boleh jadi) tidak boleh lagi dipakai menjadi dalil”.
Maka karena itu, walaupun ada hadis ini, dan walaupun
hadis ini hadis shahih, tidaklah dapat memutar arti “lamasa” yang termaktub dalam
surat an-Nisa’ ayat 35 itu, dari menyentuh kepada bersetubuh.
Allah SWT. berfirman dalam kitab suci
al-Qur’anul Karim begini:
Artinya:
“Hai orang mu’min! Jangan kamu sembahyang
pada ketika kamu sedang mabuk, sampai kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, dan
jangan pula dalam keadaan junub (habis bersetubuh dengan isteri), kecuali lalu
saja di masjid dibolehkan, hingga kamu mandi lebih dahulu. Dan jika
kamu sakit atau dalam perjalanan, atau datang dari wc. atau menyentuh kamu akan
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air (untuk berwudhu’) maka tayammum-lah
kamu dengan tanah yang bersih, maka sapulah muka dan tanganmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun”. (An-Nisa’: 43)
Dalam ayat yang panjang ini dapat dikeluarkan hukum:
1.
Jangan
sembahyang sedang mabuk. Sembahyang boleh dikerjakan kalau kita sudah tahu apa
yang kita ucapkan, jangan sedang hilang akal.
2.
Hilang akal
karena mabuk membatalkan wudhu’ karena orang mabuk itu biasanya tidak tahu
apakah ia sudah kencing atau sudah kentut dalam mabuknya itu.
3.
Jangan
sembahyang sehabis bersetubuh dengan wanita kecuali kalau sudah mandi lebih
dahulu.
4.
Orang-orang yang
habis bersetubuh boleh melalui masjid, umpamanya ia akan pulang ke rumahnya
yang terletak di belakang masjid.
Yang
tidak boleh, sembahyang dalam masjid dalam keadaan itu.
5.
Orang sakit atau
orang dalam perjalanan yang tidak mendapat air boleh tayammum saja, yakni
mengganti air dengan tanah menurut syarat-syarat yang sudah ditentukan dalam
kitab-kitab fiqih.
6.
Begitu juga sehabis buang air, besar atau
kecil atau sesudah menyentuh wanita batal wudhu’ dan boleh bertayammum kalau air tidak ada.
7.
Semuanya itu,
yaitu: 1) Hilang akal, 2) bersetubuh 3) buang air besar/kecil, dan 4) menyentuh
wanita membatalkan wudhu’.
Inilah dalil yang sangat kuat dari Al-Qur’an yang menyatakan bahwa
menyentuh wanita membatalkan wudhu’ tidak boleh sembahyang sebelum berwudhu’.
Di dalam madzhab Syafi’i ada 5 soal yang membatalkan
wudhu’ yaitu:
1.
Keluar sesuatu
dari pelepasan muka atau belakang kecuali keluar mani tanpa bersetubuh.
2.
Tidur, kalau tak
mantap tempat duduknya.
3.
Hilang akal
karena mabuk, sakit atau lain-lain.
4.
Bersentuh
laki-laki dengan wanita yang bukan muhrim.
5.
Menyentuh
kemaluan manusia dengan telapak tangan.
Di dalam ayat an-Nisa’ 43 itu ada
perkataan:
Artinya:
“Atau menyentuh kamu akan wanita”.
Arti kalimat “lamasa” menurut bahasa ‘Arab ialah
“bersentuh” bukan “bersetubuh” dan bukan “bercium-ciuman” atau lain-lain arti.
Perhatikanlah yang di bawah ini baik-baik.
1.
Tersebut dalam
kitab Kamus al-Muhith yaitu kamus yang dipercayai oleh Ulama-ulama Islam yang
dikarang oleh orang Islam.
Arti “lamasa”
al jassu bil yadi” (menyentuh dengan tangan). (Kamus al-Muhith, juz II hal.
249).
Begitu
juga dalam Kamus al-Mu’atmad pada halaman 784. Begitu juga dalam Kamus Munjid
halaman 784.
2.
Di dalam
al-Qur’an sendiri pada ayat-ayat yang lain arti “lamasa” ialah “menyentuh”.
Kalau pun ada sindiran atau kiasan.
3.
Maka karena itu
hadis ini pun tidak dapat memutar arti ayat “lamasa” yang berarti “menyentuh”
kepada “bersetubuh”.
Dalilnya tersebut dalam al-Iqna pada
Hamisy al-Bujairimi juz I, halaman 171, sebagai berikut:
Artinya:
“Dan yang keempat dari pada segala yang
membatalkan wudlu yaitu bersentuhan laki-laki dewasa dengan kulitnya akan kulit
perempuan yang helat dengan ketiadaan berdinding, karena firman Allah Ta’ala:
Lamastumun nisa’. yang dimaksud adalah: Lamastum, artinya: atau kamu sentuh
perempuan, sebagaimana ada qiroat yang membaca demikian (yaitulah Qiroat: Hamzah
dan Al-Kisay). Maka diathafkan menyentuh kepada datang dari buang air besar,
dan diaturnya atas keduanya perintah tayammum seketika ketiadaan air, maka hal
tersebut menunjuki bahwa yang dimaksud adalah hadats kecil, bukan berarti:
jama’tum artinya: kamu lakukan persetubuhan, karena arti ini menyalahi dzahir
susunan ayat.
Jelas dalam ayat ini, susunan kalimat sebelumnya
menunjukkan “menyentuh”, bukan bersetubuh. Andaikan “lamassa” diartikan
“bersetubuh” tentu tidak cocok dengan perintahnya. Sedangkan perintah
sebelumnya ialah: “apabila sehabis buang kotoran berwudhulah dengan air apabila
tidak menjumpai air bertayammumlah”. Kalau “lamassa” diartikan “jimak” tentunya
bukan berwudhu akan tetapi mandi besar (keramas) padahal satu kalimat atau satu
perintah yaitu berwudhu dan bertayammum. Melihat dalil Qur’an yang sangat kuat,
maka tidak cocok dan salah dalil di atas tadi.
Diriwayatkan suatu hadis dari Mu’adz bin Djabal, berkata
ia:
Artinya:
“Bahwa Rasulullah Saw. kedatangan seorang laki-laki lalu berkata: Ya
Rasulullah. Apa kata tuan, tentang seorang laki-laki bertemu dengan seorang
perempuan yang tak dikenalnya. Tak ada sesuatu yang biasa dilakukan seorang
laki-laki terhadap isterinya melainkan ada dilakukan oleh laki-laki tersebut
terhadap perempuan itu, hanya persetubuhan saja yang tak dilakukannya. Kata
Rawi: Maka diturunkan Allah Azza wa Jalla akan firman-Nya, yaitu ayat:
Artinya:
“Dirikan oleh sembahyang pada dua tepi
siang, dan sebahagian dari pada malam.”
Katanya: “Maka
bersabda Rasulullah saw.: Berwudhulah kamu, kemudian sembahyanglah. Kata
Mu’adz: Ya Rasulullah, apakah khusus untuk orang ini, atau umum buat semua
orang mukmin? Jawab Rasulullah Saw. untuk semua orang mukmin.
(HR.
Ahmad dan Ad-Daraquthni).
Ada pula diriwayatkan dari Abdullah
bin Umar dari ayahnya bahwa berkata ia:
Artinya:
“Kecupan seorang laki-laki terhadap
isterinya dan menyentuhnya dengan tangannya terbilang dari pada bersentuh-sentuhan.
Maka barangsiapa yang mencium isterinya atau menyentuhnya dengan tangannya,
wajiblah atasnya berwudhu.”
(HR.
Malik dalam Al-Muwattha’ dan As-Syafi’i)
Terdapat juga riwayat dari Ibnu Abi
Haatim, satu riwayat bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata ia:
Artinya:
“Yang dimaksud dengan sentuh, adalah
selain persetubuhan”.
Dalam riwayat At-Thabrani pun ada
disebutkan bahwa Abdullah bin Mas’ud pernah berkata:
Artinya:
“Berwudhulah seorang laki-laki tersebab
berlekatan, tersebab menyentuh dengan tangannya dan tersebab ciuman”.
Dalam kitab al-Muwaththa’ disebutkan tentang penjelasan ‘Abdullah bin ‘Umar RA
mengenai apa yang dimaksud mulamasah
dalam ayat tersebut:
Artinya:
“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata,
“Kecupan seorang suami kepada isterinya dan menyentuh dengan tangannya termasuk
mulamasah. Maka siapa saja yang mengecup istrinya atau menyentuhnya, maka ia
wajib melakukan wudhu’.” (Al-Muwaththa’,
juz II, hal. 65)
Artinya:
“Yang ketiga (yang membatalkan wudhu’)
ialah bertemu kulit pria dengan kulit wanita, kecuali mahram (muhrim) menurut
fatwa yang lebih zahir. Orang yang disentuh sama hukumnya dengan yang
menyentuh, menurut fatwa yang “azhar”. Dan tidak membinasakan wudhu’ kalau
bersentuh dengan anak kecil, dengan rambut, dengan gigi dan kuku, menurut
pendapat yang lebih shahih”.
(Lihat
kitab Minhaj bagian bab Asbabul-Hadats).
Dengan perkataan lain dapat diterangkan, bahwa yang
membatalkan wudhu’ juga adalah:
1. Bersentuh
kulit laki-laki dengan kulit wanita.
2. Bersentuh
dengan muhrim (wanita yang tidak boleh dikawini, seperti ibu, saudara, bibik,
mertua dll.) tidak membatalkan wudhu’.
3. Yang
menyentuh sama hukumnya dengan yang tersentuh, yakni sama-sama batal wudhu’nya.
4. Bersentuh
dengan anak kecil yang belum baligh tidak membatalkan wudhu’.
5. Bersentuh
dengan rambut, gigi dan kuku tidak membatalkan wudhu’.
Dan Imam Besar, Imam Syafi’i Rahimahullah, berkata
dalam kitab Al-Umm begini:
Artinya:
“Dan apabila memegang pria akan
isterinya, atau bersentuh dengan tangannya atua kulitnya tanpa dinding kain,
dengan bernafsu atau tidak bernafsu, maka wajib baginya wudhu’ kalau hendak
sembahyang dan juga wajib bagi isteri yang disentuhnya” (Al-Umm, juz I, hal. 15
– 16).
Demikian hukum fiqh dalam Madzhab Syafi’i. Semua
kitab Syafi’iyah, besar kecil, memfatwakan begitu.
---oooOooo---
والله اعلم بالصواب
Tidak ada komentar:
Posting Komentar