Artinya :
Boleh hukumnya
menuliskan azimat-azimat yang tidak ada padanya sesuatu dari pada nama-nama
yang tidak diketahui maknanya, dan seperti demikian juga boleh
menggantungkannya atas anak-anak Adam dan binatang-binatang. Wallahu subhanahu
wa ta’ala A’lam.
Demikian
pula tersebut dalam Kitabul Adzkar bagi Al-Allamah Muhyidin Annawawi, pada
halaman 124 – 125 pada bab Ma yaqulu idza kana yafza’u fi manamihi, sebagai
berikut:
Artinya :
Diriwayatkan akan
kami di dalam Sunan Abi Daud, Attirmidzi dan Ibnissunni dan lainnya dari ‘Amer
bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw. adalah pernah
mengajarkan mereka karena kejutan akan beberapa kalimat”
Kata Rawi: Dan
adalah Abdullah bin Umar mengajarkan kalimat itu kepada yang telah berakal dari
anak-anaknya. Dan mereka yang belum berakal, ditulisnya dan digantungkannya
atasnya.
Kata
Attirmidzi : Hadits Hasan.
Ada
beberapa dalil dari Hadits Nabi SAW yang menjelaskan kebolehan ini. Di
antaranya adalah:
“Dari ‘Awf bin Malik
al-Asyja’i ia meriwayatkan bahwa pada zaman jahiliyah, kita selalu membuat
azimat (dan semacamnya). Lalu kai bertanya kepada Rasulullah SAW, bagaimana
pendapatmu (ya Rasul)tentang hal itu. Rasul menjawab, “Coba tunjukkan azimatmu
itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung
kemusyrikan.” (Shahih Muslim [4079])
Dalam al-Thibbal-Nabawi, al-Hafizh
Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Ustman al-Dzahabi menyitir sebuah hadits:
“Dari ‘Abdullah
bin ‘Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Apabila salah satu di antara
kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya) “Aku berlindung dengan
kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari
perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, serta dari godaan syetan serta dari
kedatangannya padaku”. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang
tersebut. ‘Abdullah bin ‘Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak-anaknya
yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas,
kemudian digantungkan di lehernya.” (Al-Thibb
al-Nabawi, 167).
“Dari ‘Abdullah ia
berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya hizib, azimat
dan pelet, (yang digunakan untuk kejahatan) adalah perbuatan syirik.” (Sunan Abi Dawud [3385]).
Atau
Hadits yang menyatakan:
“Dari ‘Uqbah bin
‘Amir Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang menggantungkan azimat di
lehernya, maka sungguh orang itu telah berbuat syirik.” (Musnad Ahmad [16781]).
Mengomentari Hadits ini, ibn Hajar,
salah seorang pakar ilmu Hadits kenamaan, serta para ulama yang lain mengatakan:
“Ibnu Hajar dan
ulama yang lain mengatakan, “Keharaman yang terdapat dalam Hadits itu, atau
Hadits yang lain, adalah apabila yang digantungkan itu tidak mengandung
al-Qur’an atau yang semisalnya. Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada
Allah SWT, maka larangan itu tidak berlaku. Karena hal itu digunakan untuk
mengambil barokah serta minta perlindungan dengan nama Allah SWT, atau dzikir
kepada-Nya.” (Faidh al-Qadir, 181).
Inilah dasar kebolehan membuat dan
menggunakan amalan, hizib serta azimat. Karena itulah para ulama salaf semisal
Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyyah membuat azimat.
“Al-Marrudzi berkata, “Seorang
perempuan mengadu kepada Abi Abdillah (Ahmad bin Hanbal) bahwa ia selalu
gelisah apabila seorang diri di rumahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal
menulis dengan tangannya sendiri, basmalah, surat al-Fatihah dan mu’awwidatain
(al-Falaq dan al-Nas). Al-Marrudzi juga menceritakan tentang Abu ‘Abdillah yang
menulis untuk orang yang sakit panas, basmalah, bismillah wa billa wa Muhammad
Rasulullah, QS. al-Anbiya’ 69 – 70, Allahumma rabbi jibrila dst....... Abu
Dawud menceritakan saya melihat azimat yang dibungkus kulit di leher anak Abi
‘Abdillah yang masih kecil. Syaikh Taqiyuddin Ibn Taimiyyah RA menulis QS. Hud
44 di dahinya orang yang mimisan (keluar darah dari hidungnya).” (Al-Adab al-Syar’iyyah wa al-Minah al-Mar’iyyah, juz
II hal. 307 – 310)
Artinya:
“Rasulullah
berkata kepada tukang cukur: Hai! Beliau tunjukkan arah kanan kepada beliau,
maka beliau bagikan rambut beliau kepada orang-orang yang berada di sebelah
kanannya. Kemudian beliau tunjuk lagi yang arah sebelah kiri, maka beliau
berikan potongan rambutnya kepada Ummu Suleim. (HR. Muslim juz IX – halaman 53).
Dalam satu riwayat dalam kitab
Muslim juga, bahwa Nabi Muhammad SAW, membagi-bagi rambut tersebut ada yang
mendapat sehelai, ada yang dua helai rambut. Dan ada pula yang diberikan kepada
Abu Thalhah.
Artinya:
“Dari Ibnu Sirin
(Tabi’in) beliau berkata : Saya beritahukan kepada ‘Abidah (juga tabi’in),
bahwa pada saya ada tersimpan rambut Nabi Muhammad Saw. yang saya perdapat dari
Anas atau dari famili Anas, maka ‘Abidah berkata” Wah – kalau ada pada saya
sehelai rambut dari rambut Nabi, lebih senang bagi saya dari isi dunia ini
seluruhnya. (HR. Bukhari – lihat Fathul
Bari, juz I – halaman 284).
Nampaklah dalam hadits-hadits ini
bahwa sahabat-sahabat Nabi dan Tabi’in-tabi’in pada waktu itu berebut-rebut
ingin menyimpan rambut Nabi Muhammad Saw.
Di dalam kitab Syifa’ dikatakan
bahwa Jenderal Khalid bin Walid (sahabat Nabi) selalu menyimpan rambut Nabi
dalam kantong bajunya. Kemana saja dan di mana saja beliau berperang,
dianugerahi kemenangan oleh Tuhan berkat yang ada pada rambut Nabi itu.
Sepanjang sejarah, pada waktu
peperangan Yammah, baju Jenderal Khalid bin Walid jatuh di tengah-tengah orang
kafir.
Dengan tidak memperdulikan maut
beliau menyerbut ke tengah-tengah orang kafir dengan memukul kiri-kanan dan akhirnya
mengambil baju yang jatuh ini:
Sahabat-sahabat yang lain
berpendapat bahwa cara yang begitu sangat terlalu gegabah karena untuk
keperluan sehelai baju akan mempertaruhkan jiwa di tengah-tengah kaum kafir.
Setelah dikatakan kepada Khalid bin
Walid hal itu, beliau menjawab bahwa soalnya bukan baju yang jatuh itu, tetapi
di dalam baju itu ada tersimpan rambut Rasulullah Saw. yang sangat berharga
sekali. Saya khawatir kalau-kalau baju itu jatuh ke tangan orang musyrik.
Akhirnya seluruh sahabat sepakat dengan
pendapat Khalid bin Walid. (baca kitab Tabarrukus Shahabah bin Atsaari
Rasulillah Saw. – halaman 9 – 10).
Nah dalam hadits ini dan juga dalam
kejadian ini dapat diambil kesimpulan bahwa menyimpan sesuatu yang dianggap
suci, tidak dilarang oleh agama kalau kita bermaksud mengambil berkatnya.
Di dalam istilah syari’at Islam,
Artinya:
“Adanya suatu
kebajikan Tuhan yang diletakkan pada sesuatu. (lihat Tafsir Khazein II – hal. 218).
Kebajikan Tuhan diletakkan pada
sesuatu. Ada yang diletakkan pada diri Nabi-Nabi, pada cangkir Nabi, pada baju
Nabi. Ada yang diletakkan pada diri Ulama-ulama dan Aulia-aulia, orang saleh
dan orang yang mati syahid.
Ada yang diletakkan pada ayat-ayat
suci al-Qur’an, pada surat Kahfi, pada surat Yasin, pada surat al-Ikhlash.
Ada yang diletakkan pada nasi, pada
air, pada tamar, pada kurma, pada gantang, pada sukatan, pada timbangan dan
lain-lain sebagainya.
Pendeknya, kebajikan Tuhan, rahmat
Tuhan itu banyak sekali, melimpah-ruah dan diletakkanNya pada sesuatu yang
dikasihinya.
Ada yang diletakkan pada baju Nabi
Yusuf As. Sehingga ayahnya nabi Ya’kub dapat melihat lagi setelah diusapkan
pada mukanya, berkat baju Nabi Yusuf. Juga ada yang diletakkan pada tongkat
Nabi Musa As. Setelah dilempar menjadi ular. Sehingga musuh-musuhnya menjadi
kalah semua. Apakah Musa menjadi syirik? Tidak karena Nabi Musa As. tidak
menuhankan tongkat, kebajikan Tuhan yang ditaruh pada tongkat.
---ooo0ooo---
والله اعلم
بالصواب
Tidak ada komentar:
Posting Komentar