Pembangun paham ini Muhammad bin Adbul Wahab.
Oleh karena itu orang menamakan gerakannya/pahamnya
dengan Wahabiyah, dibangsakan kepada Abdul Wahab, bapak Muhammad bin Abdul
Wahab.
Sebenarnya menamakan gerakan ini dengan “Wahabiyah”
adalah salah, karena pembangunnya bernama Muhammad, bukan Abdul Wahab. Tersebut
dalam kamus Munjid pagina 568 bagian adab, yang artinya:
“Wahabiyah adalah suatu bagian dari firqah
Islamiyah, dibangun oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1702 M – 1787 M). Lawannya
menamainya Wahabiyah tapi pengikutnya menamakan dirinya “Al-Muwah-hidun” dan
thariqat mereka dinamainya “Al-Muhammadiyah”. Dalam fiqih mereka berpegang pada
Madzhab Hanbali disesuaikan dengan tafsir Ibnu Taimiyah”.
Demikian tersebut dalam Munjid.
Keterangan kamus Munjid ini tidak semuanya benar.
Ulama’ –ulama’ Wahabi tidak marah kalau mereka dipanggil dengan kalimat
“Wahabi”, dan bahkan ada sebuah buku yang dikarang oleh mereka, berjudul “Al
Hijatussaniyah wat Tuhfatul Wahabiyah an Nijdiyah”, dicetak oleh percetakan
“Ummulqura” di Makkah tahun 1344 H.
Saudara dari Muhammad bin Abdul Wahab ini bernama
Sulaiman bin Abdul Wahab mengarang sebuah buku dengan judul “Ash Shawa’iqul
Ilahiyah firraddi alal Wahabiyah” (Petir Tuhan Untuk Menolak Paham Wahabi).
Dengan judul buku ini saja jelaslah bahwa pada masa
hidup Muhammad bin Abdul Wahab nama “Wahabiyah” sudah ada juga.
Seorang ulama’ besar mufti di Makkah, Syeikh Sayid
Ahmad Zaini Dahlan (wafat : 1304 H) menulis sebuah buku untuk menolak paham
Wahabi dengan judul “Ad Durarus Saniyah firraddi ala; Wahabiyah” (Permata
Bertahta Untuk Menolak Paham Wahabi). Teranglah bahwa nama “Wahabi” itu sudah
lama adanya.
Dari keterangan “munjid” tadi teranglah bahwa paham
Wahabi itu adalah penerus paham Ibnu Taimiyah dan bahkan lebih fanatic dan
lebih radikal dari Ibnu Taimiyah – ini benar.
Dalam buku “Kasfus Syubahat” karangan ulama’-ulama’
Wahabi cetakan “An Nur” Nedji, dapat diambil sejarah paham Wahabi ini ialah:
Muhammad bin Abdul Wahab berasal dari qabilah Bani Tamim
lahir 1115 H, wafat tahun 1206 H. Kalau sekarang ini tahun 1386, maka Muhammad
bin Abdul Wahab wafat sudah 180 tahun yang lalu.
Mula-mula ia belajar agama di Makkah dan di Madinah.
Diantara gurunya di Makkah terdapat nama Syeikh Muhammad Sulaiman Al Kurdi,
Syeikh Abdul Wahab (bapaknya sendiri) dan kakaknya Syeikh Sulaiman bin Abdul
Wahab.
Guru-gurunya semua termasuk bapak dan kakaknya
adalah ulama’-ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal ini dapat dibaca dalam buku
“As Shawa’iqul Ilahiyah firraddi al Wahabiyah” (Petir Yang Membakar Untuk
Menolah Paham Wahabi), karangan kakaknya Sulaiman bin Abdul Wahab.
Menurut ustadz Hasan Khazbyk dalam suatu karangannya
dikatakan, bahwa Muhammad bin Abdul Wahab pada ketika mudanya banyak membaca,
buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan lain-lain pemuka yang tersesat.
Perantaraan wafat Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin
Abdul Wahab adalah 478 tahun. Ibnu Taimiyah meninggal di Syria sedang Muhammad
bin Abdul Wahab meninggal di Nedji.
Menurut buku “Kasfus Syubahat” tersebut, yang berasal
dari tulisan cucu-cucu dari keluarga Muhammad bin Abdul Wahab, yaitu Abdul
Lathif bin Ibrahim Ali Syeikh, Bahwa Muhammad bin Abdul Wahab lahir di suatu
desa bernama “‘Ainiyah” pada tahun 1115 H. Ia pun belajar agama kepada
bapaknya, karena bapaknya adalah ulama’/Qadhi di negeri ‘Ainiyah itu.
Setelah ia mencapai usia dewasa ia pergi ke Makkah
untuk menunaikan ibadah Haji dan kembali ke ‘Ainiyah sesudah mengerjakan haji.
Hal ini berbeda dengan Muhammad Abduh di Mesir,
penganut paham Ibnu Taimiyah juga yang tidak pernah naik haji walaupun ia
berulang kali pergi ke paris.
Kemudian Muhammad bin Abdul Wahab datang lagi ke
Makkah dan Madinah yang kedua kali. Lama ia tinggal menuntut ilmu di Makkah dan
Madinah.
Katanya pada kali yang kedua inilah ia banyak melihat
di Madinah amal-amal / ibadat-ibadat orang Islam di hadapan makam Nabi yang
berlainan dari syari’at Islam, menurut kacamatanya.
Kemudian ia pindah ke Basrah dan menyiarkan fatwanya
yang ganjil-ganjil tetapi ia segera diusir oleh penguasa dan dikeluarkan dari
kota Basrah.
Kemudian Muhammad bin Abdul Wahab pergi ke Hassa dan
berguru lagi disitu dengan Syeikh Abdullah bin Abdul Lathif, seorang ulama’ di
Hassa ketika itu.
Kemudian ia pindah ke Huraimalah, suatu desa kecil
di negeri Nedji.
Mula-mula ia menyiarkan fatwanya yang ganjil-ganjil
di negerinya sendiri, yaitu di ‘Ainiyah. Tetapi Raja di negeri itu namanya
Utsman bin Ahmad bin Ma’mar yang mulanya menolong tetapi setelah mendengar
fatwa-fatwanya lalu mengusir dan bahkan berusaha membunuhnya.
Kemudian ia pindah ke Dur’iyah. Raja Dur’iyah
bernama Muhammad bin Sa’ud menolong Muhammad bin Abdul Wahab dalam penyiaran
paham-pahamnya. Maka bersatulah dua orang “Muhammad”, yang berlainan
kepentingan, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad bin Sa’ud.
Muhammad bin Abdul Wahab membutuhkan seorang
penguasa untuk menolong penyiaran pahamnya yang baru dan Muhammad bin Sa’ud
membutuhkan seorang ulama’ yang dapat mengisi rakyatnya dengan ideologi yang
keras, demi untuk memperkokoh pemerintahan dan kekuasaannya.
Maka bersatulah antara paham agama dengan raja,
sebagai bersatunya paham Syi’ah di Iran dengan Syah Iran dan bersatunya paham
Syi’ah Imamiyah di Yaman dengan “Imam” yang menguasai Yaman (sebelum Republik).
Demikian tersebut dalam buku “Kasfus Syubahat” cetakan
percetakan “An Nur” Riyadh.
Jelas dari uraian ini bahwa paham Muhammad bin Abdul
Wahab tidak diterima di Basrah juga tidak diterima di ‘Ainiyah, sehingga ia
diusir dari kedua tempat itu oleh penguasa.
Tetapi dengan pertolongan Muhammad bin Sa’ud di kota
Dur’iyah banyak jugalh pengikut-pengikut Muhammad bin Abdul Wahab yang terdiri
dari orang padang pasir, sehingga menjadi kekuasaan yang tidak dapat diabaikan
oleh Turki dan Syarif-syarif di Makkah ketika itu.
Pada suatu ketika mereka mengirim delegasinya ke
Makkah menemui Syarif Makkah, yaitu Syazif Mas’ud sambil mengerjakan haji.
Delegasi-delegasi ini menyiarkan fatwa-fatwa Wahabiyah yang ganjil-ganjil di
Makkah.
Syarif Mas’ud menangkapi orang-orang ini dan bahkan
membunuh sebahagiannya, tetapi sebagiannya lolos dan pulang memberikan laporan
kepada Muhammad bin Sa’ud.
Dari mulai tanggal inilah berkobarlah permusuhan
antara kaum Wahabi di Nedji dengan Syarif-syarif (penguasa-penguasa di Makkah).
Dalam hal ini Syarif Mas’ud membuat suatu kesalahan
karena ia menangkap orang haji dan membunuh mereka, pada hal Tuhan telah
berfirman dalam Al-Qur’an, bahwa barang siapa masuk Makkah adalah aman (Surat
Ali Imran : 97). Seharusnya kalau ia tidak sesuai dengan paham Wahabi ia boleh
mengusir saja orang tanpa membunuh.
11. Kubbah
(gedung besar) di atas tanah dimana Nabi Muhammad Saw. dilahirkan yaitu di Suq
al Leil, diruntuhkan, didatarkan dengan tanah, dengan memakai meriam juga.
Kemudian tempat itu dijadikan tempat penambatan onta.
Pada
waktu yang akhir kabarnya, atas desakan ummat Islam seluruh dunia di atas
maulud Nabi itu dibangun gedung perpustakaan.
12. Perayaan
maulid Nabi bulan Rabi’ul Awal tiap-tiap tahun dilarang, karena itu pekerjaan
bid’ah, katanya.
13. Perayaan
Mi’raj yang biasanya pada malam 27 Rajab dilarang keras, karena itu bid’ah
katanya.
14. Bepergian
dengan maksud ziarah makan Nabi ke Madinah terlarang. Yang dibolehkan kepergian
ke Madinah dengan maksud untuk menziarahi dan sembahyang di Masjid Madinah.
15. Mendo’a
menghadap ke makam Nabi dilarang. Boleh ziarah, tetapi ketika membacakan do’a
harus menghadap kiblat dan membelakangi makam Nabi. Pada ketika ziarah harus
menjauhkan diri lk. 2 meter dari terali yang melingkari makam Nabi.
16. Mendo’a
dengan bertawassul dilarang keras, syirik katanya.
17. Dan
lain-lain.
Inilah
yang dapat dilihat dengan mata kepala dan didengar dengan telinga pada ketika
itu. Kemudian pada tahun 1959 M. kami datang lagi ke Makkah, tidak dalam musim
haji.
Kami
melihat sendiri.
18. Ada
usaha hendak memindahkan dan menggeser kedudukan batu makam Ibrahim kira-kira
20 meter ke belakang, juga ada usaha hendak memindahkan telaga Zamzam lk. 10
meter ke belakang. Kami melihat sendiri penggalian-penggalian dan persiapan
untuk itu. Pada tahun 1961 M kami datang ke Makkah. Ternyata bahwa
maksud-maksud ini tidak kesampaian, mungkin dihadangi oleh dunia Islam.
19. Tempat
Sa’i antara safa dan Marwa sudah diperlebar 2 x lipat. Dulu ditaksir hanya
seluas 8 meter, tetapi sekarang sudah begitu luas, sudah 2 x lipat nampaknya.
20. Amal-amal
Thariqat, umpamanya Thariqat-thariqat Naqsyabandi, Qadiri, Shathari, Samani dan
lain-lain sebaai yang banyak terdapat di Mesir, dilarang keras.
21. Membaca
zikir “La Ilaaha Illallah” bersama-sama sesudah sembahyang, sebagai banyak
terlihat di Indonesia dan lain-lain dunia Islam, terlarang.
22. Imam
tidak membaca “bismillah” pada permulaan fatihah dan juga tidak membaca “qunut”
dalam sembahyang subuh, tetapi sembahyang tarawihnya 20 raka’at.
23. Dan
lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar