Rabu, 04 September 2013

MENYENTUH ISTRI Batalkan Wudhu’ ?



Ada orang yang berpendapat, bahwa arti “lamasa” dalam surat an-Nisa’ ayat ke 43 itu adalah “bersetubuh”, sehingga mereka memfatwakan, bahwa bersentuh antara pria dan wanita tidak membatalkan wudhu’: yang membatalkan wudhu’ hanya bersetubuh, katanya. Mereka memajukan juga beberapa dalil untuk memperkuat pendapatnya itu, yaitu:

Kesatu
Tersebut dalam kitab hadits begini:
Artinya:
“Dari Habib Ibnu Abi Tsabit, dari Urwah dari Sitti ‘Aisyah Rda, bahwasanya Nabi Muhammad Saw. mencium sebagian isterinya, kemudian beliau keluar pergi sembahyang dan beliau tidak berwudhu’ lebih dahulu” (H. Riwayat Imam Ahmad)
Jelas dalam hadis ini bahwa berciuman dengan isteri tidak membatalkan wudhu’ kata orang itu.

Jawab kita:
1.   Hadis Habib bin Abi Tsabit ini adalah hadis yang dha’if, tidak dapat dipakai untuk sumber hukum apalagi untuk memutar arti ayat Al-Qur’an dalam Surat an-Nisa’ itu.
Yang mengatakan bahasa hadis ini dha’if ialah ulama-ulama hadis seumpama Sofyan Tsuri, Yahya bin Sa’id al-Qathan, Abu Bakar an-Nisaburi, Abu Hasan Daruquthni, Abu Bakar al-Baihaqi dan lain-lain.
2.   Berkata Imam Ahmad bin Hanbal yang merawikan hadis ini dan berkata Abu Bakar an-Nisaburi bahwa Habib Ibnu Tsabit yang merawikan hadis ini telah tersalah dari “cium orang puasa” kepada “cium orang berwudhu’” (baca Kitab al-Majmu’, Juz II, halaman 32).
3.   Berkata Imam Abu Daud: Diriwayatkan oleh Sofyan Tsuri, bahwa Habib Ibnu Abi Tsabit hanya merawikan hadis dari Urwah al-Muzni bukan Urwah bin Zuber. Urwah al-Muzni seorang tidak dikenal (majhul) bahwa hadis yang shahih dari Sitti ‘Aisyah ialah, bahwa Nabi mencium isterinya ketika beliau berpuasa. (Al-Majmu’, Juz II hal. 32).
4.   Tersebut dalam kitab Mizanul I’tidal, karangan ad-Zahabi, Urwah al-Muzni, guru Habib bin Tsabit adalah seorang yang tidak dikenal (majhul), (baca Mizanul I’tidal, juz III hal. 65).
      Jadi hadis Habib bin Tsabit yang diambil dari Urwah ini adalah hadis yang dha’if, yang menurut usul fiqih tidak boleh dipakai untuk mengadakan hujah apalagi untuk memutar arti dari nash Al-Qur’an, karena telah tersalah dari ciuman puasa kepada ciuman berwudhu’.

Kedua
Ada orang memajukan dalil, katanya tersebut dalam kitab hadis:
Artinya:
“Dari Abu Rouq, diambilnya dari Ibrahim at-Taimi, diambilnya dari Sitti ‘Aisyah Rda, beliau berkata: Bahwasanya Nabi Muhammad Saw. adalah mencium (isterinya) sesudah berwudhu’, kemudian beliau tidak mengulang wudhu’nya lagi.”
Jelas dalam hadis ini bahwa mencium isteri tidak membatalkan wudhu’, kata mereka.
Jawab kita:
1.     Abu Rouq yang merawikan hadis ini adalah orang yang dha’if, beliau didha’ifkan oleh Ibnu Mu’in (Al-Majmu’, juz II, hal. 33). Jadi hadisnya ini adalah hadis yang dha’if.
2.     Dalam hadis ini dikatakan bahwa Ibrahim at-Taimi mengambil hadis dari Ummil Mu’minin Sitti ‘Aisyah. Ini adalah keliru, karena Ibrahim at-Taimi tak pernah berjumpa dengan Sitti ‘Aisyah. Ia adalah seorang Tabi’ Tabi’in bukan Tabi’in.
Jadi hadis ini adalah hadis “Mursal” sama derajatnya dengan hadis dha’if, karena ada sanad yang hilang antara Ibrahim at-Taimi dan Sitti ‘Aisyah.
3.     Tersebut dalam kitab Mizanul I’tidal, bahwa Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim bin al-Harits at-Taimi, mengambil hadis dari bapaknya dan bapaknya itu mengambil dari Ibnu Ubaidah.
Berkata Abu Hatim: Dia itu (maksudnya Ibrahim at-Taimi) banyak mengeluarkan hadis yang munkar.
Berkata Imam Bukhari: Hadisnya tidak tsabit (tidak tetap).
Berkata Imam Daruquthni: Ia dha’if. (Lihat Mizanul I’tidal, juz I, hal. 55).
Kesimpulannya, bahwa hadis “Abu Rouq” ini adalah hadis yang dha’if, sama nasibnya dengan hadis Ibrahim bin Tsabit tadi, tidak boleh dibawa ke tengah untuk menegak hukum, apalagi untuk memutar arti ayat al-Qur’an yang nash dan pasti.
Tersebut dalam kitab hadis begini:
Artinya:
“Dari Siti ‘Aisyah Rda. beliau berkata: Adalah aku tidur di hadapan Rasulullah dan kakiku di pihak kiblat beliau. Apabila beliau sujud ia tolak kakiku (dengan tangannya), maka saya tarik kakiku, dan apabila beliau telah berdiri saya luruskan kembali” (HR. Imam Bukhari, Fathul Bari Juz II hal. 135).
Dalam hadis ini dinyatakan bahwa Nabi menolak kaki Siti ‘Aisyah sewaktu sembahyang. Ini suatu bukti bahwa bersentuh antara laki-laki dan wanita tidak membatalkan wudhu’, kata mereka.
Jawab kita:
Pada hadis ini ada “ihtimal”, yaitu “boleh jadi” di dalamnya. Boleh jadi Nabi menolak kaki Ummulmu’minin di balik kain atau di balik kaus kaki, karena kebiasaan wanita Arab memakai celana panjang kalau tidur. Tidak ada dalam hadis ini bahwa antara tangan Nabi dan kulit Siti ‘Aisyah bersentuh, yang ada, bahwa beliau menolak kakinya.
Hadis yang mengandung “ihtimal” menurut usul fiqih tidak dapat dijadikan hujah dalam hukum, apalagi untuk memutar arti ayat al-Qur’an yang sudah pasti.
Serupa dengan uraian ini Imam Nawawi berkata:
Artinya:
“Dan menurut fatwa jumhur ulama (Ulama-ulama yang banyak dan kenamaan-kenamaan), bahwasanya bersentuh wanita membinasakan wudhu’. Mereka meletakkan hadis ini, bahwa Nabi Muhammad Saw. menyentuh Siti ‘Aisyah di balik kain, maka hadis ini menjadi tidak membuktikan atas tidak batalnya wudhu’ apabila menyentuh kulit wanita” (Syarah Muslim, juz IV, hal. 229 – 230).
Imam Nawawi ini pensyarah hadis Muslim.
Atau dapat dikatakan seperti tadi, bahwa hadis ini mengandung “ihtimal”, bukan nash yang terang.
Kaedah usul fiqih mengatakan:
Artinya:
“Dalil-dalil yang dihinggapi “ihtimal” (boleh jadi) tidak boleh lagi dipakai menjadi dalil”.
Maka karena itu, walaupun ada hadis ini, dan walaupun hadis ini hadis shahih, tidaklah dapat memutar arti “lamasa” yang termaktub dalam surat an-Nisa’ ayat 35 itu, dari menyentuh kepada bersetubuh.
Allah SWT. berfirman dalam kitab suci al-Qur’anul Karim begini:
Artinya:
“Hai orang mu’min! Jangan kamu sembahyang pada ketika kamu sedang mabuk, sampai kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula dalam keadaan junub (habis bersetubuh dengan isteri), kecuali lalu saja di masjid dibolehkan, hingga kamu mandi lebih dahulu. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan, atau datang dari wc. atau menyentuh kamu akan perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air (untuk berwudhu’) maka tayammum-lah kamu dengan tanah yang bersih, maka sapulah muka dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun”. (An-Nisa’: 43)
Dalam ayat yang panjang ini dapat dikeluarkan hukum:
1.     Jangan sembahyang sedang mabuk. Sembahyang boleh dikerjakan kalau kita sudah tahu apa yang kita ucapkan, jangan sedang hilang akal.
2.     Hilang akal karena mabuk membatalkan wudhu’ karena orang mabuk itu biasanya tidak tahu apakah ia sudah kencing atau sudah kentut dalam mabuknya itu.
3.     Jangan sembahyang sehabis bersetubuh dengan wanita kecuali kalau sudah mandi lebih dahulu.
4.     Orang-orang yang habis bersetubuh boleh melalui masjid, umpamanya ia akan pulang ke rumahnya yang terletak di belakang masjid.
Yang tidak boleh, sembahyang dalam masjid dalam keadaan itu.
5.     Orang sakit atau orang dalam perjalanan yang tidak mendapat air boleh tayammum saja, yakni mengganti air dengan tanah menurut syarat-syarat yang sudah ditentukan dalam kitab-kitab fiqih.
6.     Begitu juga sehabis buang air, besar atau kecil atau sesudah menyentuh wanita batal wudhu’ dan boleh bertayammum kalau air tidak ada.
7.     Semuanya itu, yaitu: 1) Hilang akal, 2) bersetubuh 3) buang air besar/kecil, dan 4) menyentuh wanita membatalkan wudhu’.

Inilah dalil yang sangat kuat dari Al-Qur’an yang menyatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu’ tidak boleh sembahyang sebelum berwudhu’.
Di dalam madzhab Syafi’i ada 5 soal yang membatalkan wudhu’ yaitu:
1.     Keluar sesuatu dari pelepasan muka atau belakang kecuali keluar mani tanpa bersetubuh.
2.     Tidur, kalau tak mantap tempat duduknya.
3.     Hilang akal karena mabuk, sakit atau lain-lain.
4.     Bersentuh laki-laki dengan wanita yang bukan muhrim.
5.     Menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan.
Di dalam ayat an-Nisa’ 43 itu ada perkataan:
Artinya:
“Atau menyentuh kamu akan wanita”.
Arti kalimat “lamasa” menurut bahasa ‘Arab ialah “bersentuh” bukan “bersetubuh” dan bukan “bercium-ciuman” atau lain-lain arti.
Perhatikanlah yang di bawah ini baik-baik.
1.     Tersebut dalam kitab Kamus al-Muhith yaitu kamus yang dipercayai oleh Ulama-ulama Islam yang dikarang oleh orang Islam.
Arti “lamasa” al jassu bil yadi” (menyentuh dengan tangan). (Kamus al-Muhith, juz II hal. 249).
Begitu juga dalam Kamus al-Mu’atmad pada halaman 784. Begitu juga dalam Kamus Munjid halaman 784.
2.     Di dalam al-Qur’an sendiri pada ayat-ayat yang lain arti “lamasa” ialah “menyentuh”. Kalau pun ada sindiran atau kiasan.
3.     Maka karena itu hadis ini pun tidak dapat memutar arti ayat “lamasa” yang berarti “menyentuh” kepada “bersetubuh”.
Dalilnya tersebut dalam al-Iqna pada Hamisy al-Bujairimi juz I, halaman 171, sebagai berikut:
Artinya:
“Dan yang keempat dari pada segala yang membatalkan wudlu yaitu bersentuhan laki-laki dewasa dengan kulitnya akan kulit perempuan yang helat dengan ketiadaan berdinding, karena firman Allah Ta’ala: Lamastumun nisa’. yang dimaksud adalah: Lamastum, artinya: atau kamu sentuh perempuan, sebagaimana ada qiroat yang membaca demikian (yaitulah Qiroat: Hamzah dan Al-Kisay). Maka diathafkan menyentuh kepada datang dari buang air besar, dan diaturnya atas keduanya perintah tayammum seketika ketiadaan air, maka hal tersebut menunjuki bahwa yang dimaksud adalah hadats kecil, bukan berarti: jama’tum artinya: kamu lakukan persetubuhan, karena arti ini menyalahi dzahir susunan ayat.
Jelas dalam ayat ini, susunan kalimat sebelumnya menunjukkan “menyentuh”, bukan bersetubuh. Andaikan “lamassa” diartikan “bersetubuh” tentu tidak cocok dengan perintahnya. Sedangkan perintah sebelumnya ialah: “apabila sehabis buang kotoran berwudhulah dengan air apabila tidak menjumpai air bertayammumlah”. Kalau “lamassa” diartikan “jimak” tentunya bukan berwudhu akan tetapi mandi besar (keramas) padahal satu kalimat atau satu perintah yaitu berwudhu dan bertayammum. Melihat dalil Qur’an yang sangat kuat, maka tidak cocok dan salah dalil di atas tadi.
Diriwayatkan suatu hadis dari Mu’adz bin Djabal, berkata ia:
Artinya:
“Bahwa Rasulullah Saw. kedatangan seorang laki-laki lalu berkata: Ya Rasulullah. Apa kata tuan, tentang seorang laki-laki bertemu dengan seorang perempuan yang tak dikenalnya. Tak ada sesuatu yang biasa dilakukan seorang laki-laki terhadap isterinya melainkan ada dilakukan oleh laki-laki tersebut terhadap perempuan itu, hanya persetubuhan saja yang tak dilakukannya. Kata Rawi: Maka diturunkan Allah Azza wa Jalla akan firman-Nya, yaitu ayat:
Artinya:
“Dirikan oleh sembahyang pada dua tepi siang, dan sebahagian dari pada malam.”
Katanya: “Maka bersabda Rasulullah saw.: Berwudhulah kamu, kemudian sembahyanglah. Kata Mu’adz: Ya Rasulullah, apakah khusus untuk orang ini, atau umum buat semua orang mukmin? Jawab Rasulullah Saw. untuk semua orang mukmin.    
                                                     (HR. Ahmad dan Ad-Daraquthni).
Ada pula diriwayatkan dari Abdullah bin Umar dari ayahnya bahwa berkata ia:
Artinya:
“Kecupan seorang laki-laki terhadap isterinya dan menyentuhnya dengan tangannya terbilang dari pada bersentuh-sentuhan. Maka barangsiapa yang mencium isterinya atau menyentuhnya dengan tangannya, wajiblah atasnya berwudhu.”
                     (HR. Malik dalam Al-Muwattha’ dan As-Syafi’i)

Terdapat juga riwayat dari Ibnu Abi Haatim, satu riwayat bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata ia:
Artinya:
“Yang dimaksud dengan sentuh, adalah selain persetubuhan”.
Dalam riwayat At-Thabrani pun ada disebutkan bahwa Abdullah bin Mas’ud pernah berkata:
Artinya:
“Berwudhulah seorang laki-laki tersebab berlekatan, tersebab menyentuh dengan tangannya dan tersebab ciuman”.
Dalam kitab al-Muwaththa’ disebutkan tentang penjelasan ‘Abdullah bin ‘Umar RA mengenai apa yang dimaksud mulamasah dalam ayat tersebut:
Artinya:
“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata, “Kecupan seorang suami kepada isterinya dan menyentuh dengan tangannya termasuk mulamasah. Maka siapa saja yang mengecup istrinya atau menyentuhnya, maka ia wajib melakukan wudhu’.”                          (Al-Muwaththa’, juz II, hal. 65)

Artinya:
“Yang ketiga (yang membatalkan wudhu’) ialah bertemu kulit pria dengan kulit wanita, kecuali mahram (muhrim) menurut fatwa yang lebih zahir. Orang yang disentuh sama hukumnya dengan yang menyentuh, menurut fatwa yang “azhar”. Dan tidak membinasakan wudhu’ kalau bersentuh dengan anak kecil, dengan rambut, dengan gigi dan kuku, menurut pendapat yang lebih shahih”.
(Lihat kitab Minhaj bagian bab Asbabul-Hadats).
Dengan perkataan lain dapat diterangkan, bahwa yang membatalkan wudhu’ juga adalah:
1.   Bersentuh kulit laki-laki dengan kulit wanita.
2.   Bersentuh dengan muhrim (wanita yang tidak boleh dikawini, seperti ibu, saudara, bibik, mertua dll.) tidak membatalkan wudhu’.
3.   Yang menyentuh sama hukumnya dengan yang tersentuh, yakni sama-sama batal wudhu’nya.
4.   Bersentuh dengan anak kecil yang belum baligh tidak membatalkan wudhu’.
5.   Bersentuh dengan rambut, gigi dan kuku tidak membatalkan wudhu’.
Dan Imam Besar, Imam Syafi’i Rahimahullah, berkata dalam kitab Al-Umm begini:
Artinya:
“Dan apabila memegang pria akan isterinya, atau bersentuh dengan tangannya atua kulitnya tanpa dinding kain, dengan bernafsu atau tidak bernafsu, maka wajib baginya wudhu’ kalau hendak sembahyang dan juga wajib bagi isteri yang disentuhnya” (Al-Umm, juz I, hal. 15 – 16).
Demikian hukum fiqh dalam Madzhab Syafi’i. Semua kitab Syafi’iyah, besar kecil, memfatwakan begitu.

---oooOooo---
والله اعلم بالصواب

Tidak ada komentar:

Posting Komentar